Jumat, 14 Mei 2010

Dalil-Dalil Wajib Berkutbah Dengan Bahasa Arab

Pengertian Khutbah
Khutbah pada lughah adalah pidato, ceramah nasehat, sedangkan khutbah menurut syara’ ialah suatu kalam yang dimulai dengan memuji Allah dan salawat kepada nabi Muhammad s.a.w. kemudian disudahi wasiat dan doa.
Syarat-syarat khutbah:
Bahasa Arab
Dalilnya :
1. Al-quran surat An-Nisaa ayat 115.
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدي ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولي ونصله جهنم وساءت مصيرا.
Artinya :
“Dan barang siapa yang menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan mereka leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.

Pada kenyataannya سبيل المؤمنين (jalan orang-orang mukmin) dari Barat sampai Timur baik dalam negeri Arab atau ajam berkhutbah Bahasa Arab sebagaimana yang difahami dari penalaran illat para ulama “disyaratkan Arabiah karena mengikuti ulama salaf dan khalaf “ . Menurut sejarah, ulama salaf dan khalaf (shahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in) tidak pernah berkhutbah dalam Bahasa ajam, yaitu tidak menterjemahkannya, baik pada rukun-rukun khutbah maupun tawabi’(ceramah diantara rukun-rukun khutbah), padahal pada saat itu terjemahan sangat dibutuhkan dalam khutbah karena Islam baru masuk kewilayah ajam dan meraka mampu berbahasa dengan Bahasa ajam akan tetapi mereka tidak menterjemahkannya dalam Bahasa-bahasa yang lain,

Hal-hal yang pernah diriwayatkan dalam sejarah dari ulama salaf dan khalaf tentang khutbah ialah :
1. pada ketika Umar Bin Khattab R.A..berkhutbah tiba-tiba beliau berkata “wahai pasukan naiklah ke bukit”. Tercenganglah para jamaah dalam mesjid, ternyata Umar sedang memimpin pasukannya yang diutus ke Niahanda yang lagi kocar kacir.
2. pada suatu hari Umar bin Khattab berkhutbah, ada seorang laki-laki dari kaum muhajirin yang datang terlambat kemudian Umar menugurnya “jam berapa sekarang”.
3. Abdurrahman ibnu Umm Al-hukm berkhutbah sambil duduk sehinga ditegur oleh para hadirin.
4. Marwan ibnu Hukm pernah bekhutbah hari Raya sebelum sembahyang sehunga diingkarnya.
5. Usman ban Affan R.A. menida dalam hari jumat pada ketika banyak jamaah dan tidak diingkarkan.
Dan masih banyak hal-hal yang pernah diriwayatkan dari ulama salaf dan khalaf baik masalah khutbah atau selainnya yang riwayatnya saheh-saheh, tetapi tidak satu pun riwayat yang menceritakan khutbah dalam bahasa ‘ajam.
Dari ayat diatas menunjukkan bahwa berkhutbah dalam bahasa Arab hukumnya adalah wajib karena demikian merupan suatu perbuatan yang dikerjakan ulama salaf dan khalaf secara terus menerus dan meraka tidak pernah menterjemahkan dalam bahasa lain.

2. Hadits
صلوا كما رأيتمونى أصلي

Artinya:
“sembahyanglah kamu seperti yang kamu lihat aku bersembahyang”.
Pada hadits di atas memang tidak disiggung secara jelas tentang khutbah akan tetapi kita dapat memahami melalui kaidah-kaidah yang dijelaskan dalam ushul fiqh yaitu :
ان الأمر بالشئ امر بجميع ما يتوقف عليه ذلك الشئ
Artinya :
”diperintah sesuatu berarti diperintahkan segala yang menyangkut nya dari segala syarat dan sebab”.
As-Subky berkata dalam kitabnya Jamul jawami’yaitu:
(المقدور الذي لايتم الواجب الا به واجب) بوجوب الواجب سببا كان او شرطا (وفاقا للاكثر).
Artinya:
”sesuatu yang menyempurnakan wajib maka wajib pula adakala syarar atau sebab”.
Dari penalaran kaidah tersebut dapat difahami bahwa suatu ibadah yang diperintahkan berarti diperintahkan syarat-syarat dan sebab pula. Jadi, bila ibadah itu wajib dikerjakan maka mengerjakan syarat dan rukun-rukunnya wajib pula. Oleh sebab itu hadits diatas yang menujukkan wajib sembahyang maka wajib pula mengerjakan syarat-syarat dan sebab-sebabnya seperti wudhuk, menutup aurat, menghadap kiblat, demikian pula khutbah pada shalat jum’at. maka, perintah Nabi s.a.w melaksanakan sembahyang seperti yang beliau kerjakan, maka diperintahkan juga berkhutbah seperti beliau yaitu menggunakan Bahasa Arab karena ittiba’.

Dalil Kias
Khutbah merupakan zikir yang difardhukan sama seperti tasyahut dan takbiratul Ihram . khutbah dinamakan dengan Quran seperti yang tersebut dalam Surat al- ‘araf ayat ….
واذا قرئ القران فاستمعوا له وانصتوا لعلكم ترحمون
Ibnu Hajar Haitamy dan Muhammad Ramli berpendapat : menurut kebanyakan pentafsir, ayat tersebut warid pada khutbah
Khutbah juga dinamakan dengan zikir seperti yang terdapat dalam surat jum’at ayat 9 :
يأيهاالذين امنوا اذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعواالى ذكر الله وذروا البيع ذلكم خير لكم ان كنتم تعلمون.
Artinya :
“Hai orang- orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada khutbah dan sembahyang dan tinggalkanlah jual beli”.
Pendapat Abu Su’ud maksud dari فاسعواالى ذكر الله adalah berjalanlah untuk khutbah dan shalat.. Imam Ar-Razy berkata maksud Zikrillah dalam Ayat ialah khutbah.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah rasulullah s.a.w.
من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنبة ثم راح فكأنم قرب بدنة ومن راح فىالساعة الثانية فكأنم قرب بقرة ومن راح فى الساعة الثالثة فكأنم قرب كبشا اقرن ومن راح فى الساعة الرابعة فكأما قرب دجاجة ومن راح فى الساعة الخامسة فكأنم قرب بيضة فاذا خرج الإمام حضرت الملئكة يستمعون الذكر.
Qalyuby berpendapat maksud zikir dalam hadits diatas adalah khutbah..
Dari beberapa ayat dan hadits di atas dapat difahami bahwa khutbah dinamakan zikir, maka tidak diragukan lagi tentang pengkiasan khutbah kepada tasyahud dan takbiratul Ihram karena keduanya merupakan zikir yang difardhukan. oleh sebab itu jika Tasyahut dan Takbiratul Ihram wajib dengan menggunakan bahasa Arab yaitu tidak boleh menterjemahkannya begitu juga dengan khutbah, wajib pula menggunakan Bahasa Arab dan tidak boleh menterjemakan dalam Bahasa yang lain.
Disamping itu Khutbah bisa juga diqiaskan kepada azan dari segi ibadat yang perlu menyebut nama Allah dan Rasul, hal ini terfaham dari alasan yang disebutkan oleh beberapa ulama seperti Imam An-Nawawi dalam Syarah Muhazzab, Ibnu Hajar Haitamy dalam Tuhfah, dan Muhammad Ramli dalam Nihayah, mereka berkata : “wajiblah membaca salawat dalam khutbah alasannya, khutbah merupakan Ibadah yang perlu menyebutkan nama Allah maka diperlukan pula menyebut nama rasulnya sama seperti azan dan salat.
Khatib Syarbaini dalam kitabnya Al-Mughni mengatakan :
واركنهما خمسة الأول حمد الله للإتباع والثانى الصلاة على رسول الله صلىالله عليه وسلم.لإنها عبادة افتقر الى ذكر الله فافتقرت الى رسول الله صلى الله عليه وسلم كالأذان والصلاة
Ibnu Kasir berkata dalam tafsirnya :
لا تصح الخطبتان الا بذلك ,, اى الصلاة على النبي صلىالله عليه وسلم ,,. لإنها عبادة افتقر الى ذكر الله فافتقرت الى رسول الله صلى الله عليه وسلم كالأذان والصلاة.

Dari beberapa teks yang disebutkan ulama di atas tadi dapat disimpulkan bahwa khutbah merupakan suatu Ibadah yang perlu menyebutkan nama Allah dan Rasul seperti azan dan salat, jikalau azan yang tujuannya untuk memberitau masuknya waktu salat tidak bisa diterjemahkan dalam bahasa yang lain (Bahasa ajam) sekalipun orang tidak mengetahui isinya, demikian pula tentang khutbah yaitu tidak boleh menterjemahkan pula, sekalipun banyak orang yang tidak mengerti.
Debatan Pada Qias
1.tidak boleh mengqiaskan khutbah kepada zikir-zikir sembahyang karena zikir-zikir sembahyang mu’ayyin lafadh (lafadhnya tertentu) berbeda khutbah.
2.khutbah tujuannya adalah untuk khitab manusia sedangkan sembahyang untuk khitab Allah S.W.T.
3.sembahyang harus menghadap qiblat sedangkan khutbah membelakangi qiblat.
jawaban.
1.tentang mu’ayyan atau tidak mu’ayyan itu tidak ada beda, karena pada sembahyang ada yang mu’ayyan lafadh seperti fatihah, tasyahud, dan takbiratul ihram dan ada pula yang tidak mu’ayyan lafadh seperti zikir-zikir pada ruku’, sujud dan sesudah tasyahhud, bergitu juga khutbah ada yang mu’ayyan lafadh seperti puji dan selawat, dan ada pula yang tidak mu’ayyan seperti wasiat takwa.
2.perbedaan yang kedua tidak bisa mempengaruhi qias karena para ulama telah sepakat khutbah adalah zikir yang difadhukan seperti tasyahud dan takbiratul ihram maka disyaratkan bahasa arab. Disamping itu dalam sembahyang juga ada khitab kepada hadhirin seperti salam maka tidak ada perbedaan antara khutbah dan sembahyang. Seandainya tidak boleh mengqiaskan kepada sembahyang karena adanya perbedaan disegi khitab bagi Allah dan hadhirin maka mengqiaskan pada azan tidak didapati perbedaan tersebut karena tujuan azan adalah untuk memberitau manusia masuknya waktu tetapi disyaratkan juga Bahasa Arab.
3.diperintahkan membelakangi qiblat tidak mempengarui khutbah suatu ibadah yang mesti dilakukan deengan Bahasa Arab karena karena menghadap, membelakangi adalah suatu perentah yang lain bahkan adajuga yang diperintahkan menjadikan ka’bah disebelah kiri seperti Tawaf dan pada salat sunnat diatas kenderaan dibolehkan membelakangi qiblat.maka semua contoh-contoh diatas tetap merupakan ibadah walaupun tidak menghadap qiblat.

3. Teks-teks (Ibarat-Ibarat ) para ulama.
Imam An-Nawawi berkata dalam Majmu’ Syarah muhazzab :
فرع. هل يشترط كون الخطبة بالعربية فيه طرقان اصحهما وبه قطع الجمهور يشترط لأنه ذكر مفروض فشرط فيه العربية كالتشهد وتكبيرة الإحرم مع قوله صلى الله عليه وسلم صلوا كما رأيتمونى أصلي وكان يخطب بالعربية.والثاني فيه وجهان حكاهما جماعة منهم المتولي احداهما هذا والثاني مستحب,ولا يشترط لأن المقصود الوعظ وهو حاصل بكل اللغات.
Teks dalam Rauzah
هل يشترط كون الخطبة كلها بالعربية وجهان الصحيح اشتراطه اهـ
Imam Ar-Rafi’I berkata dalam Syarah Kabir yang dinamakan Fathul “Aziz matan Wajid Imam Al-Ghazali :
(واركنها خمسة الحمد الله ويتعين هذا اللفظ والصلاة على رسول الله صلىالله عليه وسلم ويتعين لفظ الصلاة والوصية بالتقوى ولا يتعين لفظها اذ غرضه الوعظ واقلها اطيعوا الله والدعاء للمؤمنين واقله رحمكم الله وقراءة القران واقله اية ) ولك ان تبحث فى شئين من قوله ويتعين هذا اللفظ وقوله ويتعين لفظ الصلاة احدهما ان الحكم يتعين اللفظين يقتضي عدم اجزاءهما بغير العربية فهل هو كذلك والجوب ان فى اشتراط كون الخطبة كلها بالعربية وجهان اصحهما انه شرط اتباعا لما جرى عليه الناس والثانى ذكره فى التتمة مع الأول انه لا يشترط اعتبارا بالمعنى.
Imam Jalaluddin Al-Mahalli berkata dalam kitabnya Al- Mahalli beserta matan Minhaj Imam An-Nawawi :
(يشترط كونها) كلها (عربية) كما جري عليه الناس.
Lafadh كلها yang terdapat dalam beberapa teks di atas telah jelas tentang syarat berkhutbah Bahasa Arab baik pada segala rukun atau tawabi’ yaitu nasehat dalam celah-celah khutbah.
Debatan
Qalyuby berpendapat dhamir كلها dalam Ibarat Syarah Mahalli kembali kepada rukun-rukun khutbah, beliau sependapat Syeikh Islam Zakaria Al-Anshary ,beliau berkata dalam kitabnya Minhaju At Tullab beserta Syarahnya:
(ويشترط كونهما عربيتين) اى والمراد اركنهما لإتباع السلف والخلف.
“disyaratkkan Bahasa Arab hanya pada rukun-rukan khutbah, tidak pada tawabi’.
Jawaban
Mudah-mudahan maksud Syaikh Zakaria Al-Anshary disyaratkan Bahasa Arab hanya pada segala rukun khutbah tidak pada tawaabi’(ceramah dalam celah-celah khutbah) adalah untuk sah khutbah, maka ibarat Syeikh menujuki bahwa Bahasa Arab yang bukan rukun yaitu pada tawabi’ tidak menjadi syarat sahnya khutbah, begitu juga tentang mendatangkannya Tawabi’ tidak menjadi syarat pula, hal tersebut berdasarkan Kaidah
النفي اذا توجه الى المقيد بقيد يصدق بانتفاء القيد والمقيد جميعا وبانتفاء المقيد فقظ وبانتفاء القيد فقط.
Artinya :
“nafi jika datang pada pada muqayyad terbenar nafi mukayyad dan kayed, nafi hanya pada mukayyad, atau hanya pada kayed.
Maka maksud seikh Zakaria Al-Anshary “bahasa Arab pada selain rukun-rukun khutbah yaitu pada tawabi’, tidak mejadi syarat sahnya khutbah”, terbenar surah-surah mantuq ( teks ) yaitu:
1) Bahasa yang bukan Arab (ajam) pada selain rukun (tawabi’) bukan syarat sahnya khutbah (nafi kayed dan mukayyad)
2) Bahasa yang bukan Arab (ajam) pada rukun khutbah bukan syarat sahnya khutbah (nafi hanya pada mukayyad)
3) Bahasa Arab pada yang bukan rukun (tawabi’)bukan syarat sahnya khutbah pula (nafi hanya pada kayet)
Dari pengertian teks yang ketiga dapat difahamkan bahwa “arabiah pada tawabi’ bukan syarat sahnya khutbah “ maka terbenar surah boleh mendatangkan tawabi’ yang bukan Arabiah dan boleh tidak mendatangkan tawabi’ sama sekali hanya mendatangkan rukun-rukun khutbah.seperti “menafikan kiam(berdiri) bagi sipolan terbenar surah wujud sipolan tampa kiam terbrenar tampa wujud sipolan sama sekali.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendapat Syaikh Zakaria Al-Anshary disyaratkan Bahasa Arab hanya padda rukun-rukun saja tidak pada tawabi’adalah syarat sahnya khutbah, Maka tidak menentang pendapat Syaikh Zakaria Al-Anshary pendapat syaikhen(nawawi dan rafi’i) dan jalaluddin Al- Mahalli dalam teksnya tentang mensyaratkan bahasa Arab pada rukun –rukun dan tawabi’ karena mereka mensyaratkan pada tawaabi’adalah untuk menghasilkan pahala tawabi’dan untuk memperdapatkan pahala sunat, karena mendatangkan tawabi’ hukumnya adalah sunat.
Ibnu Qasem dalam kitab Syarwani menetapkan, jika mendatangkan nasehat dalam celah –celah rukun khutbah selain Bahasa Arab maka dibolehkan asalkan jangan berselang waktu yang lama seperti diam, dan jika berselang waktu yang lama maka khutbah tersebut tidak sah. Pendapat ini sama seperti yang diutarakan Muhammad Ramli. Dari pendapat Ibnu Qasem tersebut menunjukkan bahwa bahasa ajam tidak dianjurkan dalam khutbah alasannya, bisa membatalkan khutbah bila diselangi waktu yang lama, hal ini sangat berbeda bahasa Arab yang tidak mengakibatkan batalnya khutbah walaupun lama.

Debatan
Pendapat ع ش sesudah menakalkan ibarat سم . والقياس عدم الضرارمطلق artinya : “bahasa ajam tidak mengakibatkan batalnya khutbah biarpun lama waktunya” , beliau membedakan dengan diam (sukut) yang mengakibatkan batalnya khutbah jika lama waktunya karena sukut berpaling dari khutbah bil kulliya yaitu tidak dinamakan dengan khutbah sedangkan Bahasa ajam mengandung wa’zu jumlatan. Maka pendapat ع ش menunjukkan tentang dihitungkangkan Bahasa ajam dalam celah-celah khutbah sekalipun beselang waktu lama.

Jawab
Pedapat ع ش harus kita hamal karena sangat menentang dengan ulama-ulama mu’tabar seperti syeikhen, jalaluddin al- Mahalli, muhammad ramli, Ibnu Qasem dan lain-lain, maka ع ش bukan memfatwa sebalik fatwa mereka akan tetapi, ع ش hanya menjelaskan hukum yang mengakibatkan batal khutbah bila lama berselang Bahasa Ajam, bukan dengan mengkiaskan kepada diam (sukut) karena diantara keduanya ada perbedaan. Jadi ,الواو pada kata-kata والقياس adalah bagi haliyah.maka pendapat ع ش bersebrangan hanya pada qias bukan pada hukum. Dan seandainya ع ش berseberangan syaikhen pada hukum maka pendapatnya tidak bisa kita toleril. Berkata Zainuddin al-Malibary dalam kitab I’anatut at-thalibaan pada bab qadha’: pendapat yang kuat dalam mazhab untuk hukum dan fatwa adalah pendapat yang sepakat antara imam Ar-Rafi’i dan imam An-Nawawi, kemudian imam An-Nawawi, dan imam Ar-Rafi’i, kemudian yang ditarjehkan akstarin (kebanyakan ulama), kemudian yang lebih mendalam ilmunya dan yang terakhir adalah yang lebih war’a (terpelihara), ketetapan ini yang diamalkan oleh ulama-ulama muhaqqiq mutaakhirin. Imam As-Samhudy mengungkapkan : “guru-guru kami selalu mewasiatkan agar memfatwa pendapat syeikhen serta meniggalkan pendapat- pendapat yang berseberangan dengan keduanya, hal yang sama juga diutarakan syeikhuna Ibnu Ziyad yaitu kewajiban berfatwa pendapat syeikhan sekalipun berbeda aktsarin.
Dari beberapa ketetapan ulama diatas maka dapat diketahui bahwa kita harus berfatwa pendapat syeikhen, maka tidak mungkin ع ش berfatwa dengan selain pendapat syeikhen.Oleh sebab itu Maka Ibarat ع ش lebih baik kita hamal ketimbang tidak ditoleril.
Kaidah.
الحمل كلام المخاطب اولي من الغائه
Artinya: ” mempertanggungkan perkataan seseorang lebih baik dari pada membatalkannya ( tidak ditoleril).

Debatan yang lain
Arti khutbah adalah nasehat ( wa’zu ) maka bagaimana disyaratkan Bahasa Arab bagi orang yang tidak memahaminya.
Jawab
Khutbah menurut syara’ adalah suatu kalam yang dimulai memuji Allah dan selawat kepada rasul Allah S.A.W. kemudian disudahi wasiat dan doa, bukan artinya wa’zu, hal ini dapat difahami dari Ibarat Ibnu Qasem dalam kitab Asy-Syarwany:
(قوله ولا خطبة له) اى ولا لجماعة النساء الا ان يخطب لهن ذكر فلو قامت واحد منهن ووعظتهن فلا بأس.
Khutbah tidak diperdapatkan pada wanita tetapi hanya wa’zu maka dapat difahamkan khutbah bukanlah wa’zu, jadi nisbah lafadh “wa’zu dan khutbah adalah tabayyun ( berbeda ) bukan termasuk lafadh muradif ( sama ), karana lafadh muradif nafi salah satu memngakaibatkan nafi yang lain seperti insan dan basyar, bila pada suatu zat tidak diperdapatkan insan maka tidak diperdapatkan pula basyar.
Secara bahasa memang benar ada khutbah yang artinya wa,zu, seperti sembahyang menurut bahasa artinya doa kebaikan, puasa artinya imsak, haji artinya kasad, zakat artinya bertambah-tambah, suci. Maka arti dari contoh-contoh di atas bukan maksud syara’, jadi kita tidak boleh hanya berdoa menggantikan sembahyang, kasad menggantikan haji, akan tetapi kita harus melaksanakan segala rukun-rukun dan syarat-syarat sembahyang dan haji, begitu juga khutbah tidak memada wa’zu akan tetapi harus menyempurnakan syarat dan rukun-rukunnya antara lain harus bahasa arab.
Debatan
Pendapat para ulama: khatib sunat mengajarkan hukum-hukum zakat fitrah dalam khutbah hari Raya Idul Fitri dan hukum-hukum berkurban dalam khutbah hari Raya Idul Adha. Yang dipertanyakan bagaimana munkin mengajarkannya Bahasa Arab bagi orang-orang yang tidak mengerti bahasa Arab, maka pasti mereka tidak bisa mengamalkannya.
Jawab
Seagaimana diperintahkan khatib untuk mengajarkan begitu juga diperintahkan orang jahil untuk menuntut ilmu, seperti sabda rasul Allah S.A.W.
طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمات ( رواه ابن عبد البرعن انس )
artinya : “ tuntut ilmu wajib terhadap setiap orang islam baik yang laki-laki maupun perempuan “.
Nah pada ketika banyak sekali syariat kita dalam bentuk bahasa Arab maka wajib terhadap manusia belajarnya sekadar yang dibutuhkan, jika seandainnya para hadirin yang hadir dalam khutbah tidak mengerti Bahasa arab maka kesalahan bukan dipihak khatib akan tetapi dipihaknya, maka khatib tetap tidak dibolehkan menterjemahkannya.
Seperti yang tertera dalam satu syair
لا تنحتن قدميك لولم تدخلا فى النعل بل ابدل شراكا اطولا
Artinya : ” jangan kamu potong dua kaki karena sempit sepatu yang kamu pakai akan tetapi carilah sepatu lain yang kamu bisa memakainya.

Jawaban yang kedua
Maksud para ulama ”mengajarkan hukum-hukum tersebut “ adalah bukan haqiqi seandainya maksud para ulama “mengajarkan hukum-hukum” adalah haqiqi, maka sugguh mereka membatasi kepada hadirin yang jahil, dan tidak sunat bila semua hadirin telah mengetahuinya, tetapi dikala tetap disunatkan terhadap khatib ”mengajarkan hukum-hukum tersebut “ biarpun semua hadirin yang hadir sudah mengerti maka jelaslah tujuannya adalah bukan mengajarkan secara haqiqi.Dan mengajarkan hukum-hukum tersebut bukan pula semata-mata untuk diamalkan, karena para ulama berpendapat mengeluarkan zakat fitrah sebelum keluar kepada sembahyang, begitu juga qurban, lebih baik dilaksanakan sesudah sembahyang dan khutbah sedangkan kebiasaan yang dijelaskan dalam khutbah ialah binatang disembelih sejahtera dari segala aib yang dapat mengurangkan harga dan daging, dan segala yang disunatkan seperti binatang yang gemuk dan lain-lain, jika seandainya tujuan mengajarkannya untuk semata-mata diamalkan maka sugguh diperintahkan berkhutbah sebelum menunaikkan zakat fitrah yaitu pada malam hari raya, demikian pula diperintahkan membeli qurban pada hari raya idul adha, tetapi yang di perintahkan adalah sebaliknya.

. disamping itu mengajarkan hukum-hukum tersebut dalam khutbah adalah sunat sedangkan bahasa arab dalam khutbah merupakan syarat maka bila bertentangan antara sunat syarat didahulukan syarat dan ditinggalkan sunat seperti pada membaca quran bahasa arab merupakan syarat sedangkan merenungkan makna (tadabbur) adalah sunat, maka tidak boleh menterjemahkan al-quran untuk menghasilan tadabbur, maka khutbah sama seperti al-quran tidak boleh menterjemahkannya apalagi khutbah juga dinamakan quran seperti pada ayat:
واذا قرئ القران فاستمعوا له وانصتوا لعلكم ترحمون
Ibnu Hajar Haitamy dan Muhammad Ramli berpendapat ayat tersebut warid pada khutbah menurut kebanyakan pentafsir.


Kesimpulan
1.Bahasa arab disyaratkan pada segala rukun-rukun khutbah, dan seandainya rukun-rukun khutbah diterjemahkan dalam bahasa ajam ( selain bahasa arab) maka tidak sah khutbah.
2. mendatangkan tawabi’(ceramah dalam celah-celah khutbah) hukumnya adalah sunat,.maka disyaratkan pada tawabi’ bahasa Arab untuk menghasilkan pahala bukan untuk sahnya khutbah.

Adakah Hukum Menterjemahkan Diantara Rukun-Rukun Khutbah Haram dan bid’ah ?
Jawab:
Dari uraian diatas kita telah mengetahui bahwa tidak sah khutbah bila lama berselang Bahasa ajam diantara rukun-rukun khutbah, jadi hukum menyelangi bahasa ajam diantara rukun-rukun khutbah adalah haram bila tujuan tersebut untuk khutbah karena termasuk dalam membatalakan ibadat sengaja, serta bercampur dalam ibadat yang rusak.
Nashnya:
قال شيخنا لكن يمبغي ذلك (نية اول ليلة من رمضان صوم جميعه) ليحصل له صوم اليوم الذي نسي النية فيه عند مالك تسن له اول يوم الذي نسيها فيه ليحصل له صومه عند ابي حنيفة وواضح ان محله ان قلد والا كان متلبسا بعبادة فاسدة فى اعتقاده .اى وهو حرم .ا.ه .اعانة الطالبين.
Pendapat yang serupa dikemukakan oleh syeikh Abdullah bin Hajazy yang dikenal syarqawy dalam kitabnya hasyiah ‘ala Syarhi at-thahrir yaitu :
فمع كون الإمساك واجبا على هذا الناسى يحرم عليه نية الصوم به ان لم يقلد القائل بالصحة ولم يحصل منه شيئ سوى النية.
Dalam al-mughni khatib Syarbaini mengatakan :
واذا صلي في الأوقات المنهى عنها عزر ولا تنعقدا اذا قلنا اتها كراهة تحريم وكذا علي كرهة التنزيه علي الأصح فان قيل يلزم من عدم الإنعقاد ان الكرهة للتحريم لإن الإقدام على العبادة التى لا تنعقد حرام اتفاقا لكونها تلاعبا, اجيب بانه لايلزم من القول بعدم الإنعقاد القول بان الكرهة للتحريم الخ .
Dari beberapa teks diatas terfaham bahwa mengerjakan ibadat yang sudah batal hukumnya haram.oleh sebab itu maka menterjemahkan yang berselang waktu yang lama diantara rukun-rukun khutbah hukumnya adalah haram bila terjemahan itu dikasatkan khutbah. dan jika tujuan terjemhan itu hanya semata-mata kalam maka hukumnya haram pula menurut Satu pendapat.
Ibarat syarah kabir
هل يحرم الكلام على الخطيب فيه طريقان اصحهما القطع بانه لايحرم اهـ.
Ibarat syarah muhazzab
وفى تحريم الكلام على الخاطب طريقا ن احدهما على القولين والثانى وهو الصحيح وبه قطع الجمهور يستحب ولا يحرم للأحاديث الصحيحة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم تكلم فى الخطبة. والأولي ان يجيب عن ذلك بان كلامه صلى الله عليه وسلم كان للحاجة اهـ .
Fatwa Imam As-Syafi’I dalam kitab al-umm.
ولا بأس ان يتكلم الرجل فى خطبة الجمعة وكل خطبة فيما يعنيه ويعني غيره بكلام الناس اهـ .
Dari beberapa teks diatas dapat disimpulkan bahwa berkalam dalam khutbah hukumnya dibolehkan jika hajat seperti orang buta yang hampir jatuh dalam sumur.akan tetapi terjemahan diantara rukun-rukun khutbah sekarang ini adalah bid’ah karena menentang ayat, hadits, kias dan perbuatan para ulama salaf dan khalaf, seandainya kita mengatakan terjemahan tersebut adalah hajat karena memberi pengajaran untuk para hadirin maka kenapa para ulama salaf dan khalaf tidak pernah menterjemahkan diantara rukun-rukun khutbah dalam wilayah-wilayah ajam padahal pada saat itu terjemahan sangat dibutuhkan untuk mengajarkan hukum-hukum karena islam belum berkembang, oleh sebab para ulama saalaf dan khalaf tidak pernah menterjemahkan diantara rukun-rukun khutbah maka menterjemahkan diantara rukun-rukun khutbah hukumnya adalah haram seperti alasan yang diberikan olehpara ulama “disyaratkan arabiah karena mengikuti ulama salaf dan khalaf.
Dan jika terjemahan tersebut berselang waktu yang lama maka tidak sah khutbah sebagimana yang diutarakan Ibnu kasem, Muhammad Ramli dan lain-lain.tentang jawaban dari pendapat ع ش yang mengutarakan boleh menterjemahkan walaupun berselang waktu yang lama maka telah ada jawabannya diatas.
Tentang terjemahan tersebut dianggap bid’ah maka penulis terlebih dahulu membuat pengertian bid’ah.
Boihaqi, Izzuddin Bin Abdussalam, Imam An-Nawawi dan At-tayyiby mengatakan : yang dikatakan bid’ah menurut Imam As-Syafi’I adalah .
المحدثات من الأمور ضربان ما احدث لما يخالف كتابا او سنة او اثارا او اجماعا هذا من البدعة الضلالة وما احدث فى الخير لا خلاف فيه لواحد من المذكورات فهي بدعة غير مذمومة.
Imam Al-Ghazali berfatwa :
انما المحذر ارتكاب بدعة تراغم سنة مأثورة
Artinya : bid’ah yang terlarang adalah bid’ah yang menentang hadits yang masyhur

Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bid’ah ialah suatu hal yang baru yang tidak yang menyalahi kitab, sunnah, pendapat sahabat, dan ijma’, oleh karena itu maka menterjemahkan khutbah yang tidak diselangi waktu yang lama hukumnya adalah haram dan bid’ah karena tidak menentang Al-quran, hadits, dan pendapat sahabat.
Ketahuilah sesungguh khutbah pada terminologi adalah perkataan yang dimulai dengan memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW dan disudahi dengan wasiat dan do’a, sedemikian Imam Khatib Syarbaini mengatakan dalam kitab Mugni pada bab nikah (jilid 3 hal 137).
Dan disyaratkan pula pada khutbah beberapa perkara yang lain, diantaranya adalah bahasa Arab. Sebutlah demikian bahasa Arab pada khutbah dengan kitab (ayat) dan sunnah (hadis) dan qias (analogi) dan jelaslah demikian bagi para musannif (pengarang) dari ibarat (uraian) ulama. Oleh karena demikian tidak sahlah khutbah dengan bahasa Ajam (ajnabi).
Adapun dalil kitab adalah firman Allah SWT :
Artinya:
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesataa yang telah dikuasainya itu, dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (Q.S An-Nisa 115).

Maka jelaslah sesungguh jalan orang-orang mukmin dimasyrik dan magrib, dinegeri Arab dan negeri Ajam itu berkutbah dengan bahasa Arab. Sebagaimana yang ditunjuki oleh ilat ulama pada mensyaratkan bahasa Arab, karena mengikut ulama Salaf (para shahabat) dan Khalaf (para tabi’in).
Maksudnya karena selalu dilaksanakan pada masa ulama Salaf dan ulama Khalaf, maka tidak pernah dikhutbah oleh seorang pun dari kalangan mereka kecuali dengan bahasa Arab, dan seandainya dikhutbah oleh seseorang dari kalangan mereka bukan dengan bahasa Arab, niscaya sungguh berpindahlah demikian kepada kita, apakah itu perbuatan baik atau pun buruk. Karena masyurnya panda’i maka menghendakilah demikian.
Dan manakala Saidia Umar mengingatkan seorang sariyah (satuan militer) maksudnya pemimpinya yang telah diutuskan ke negeri Nahawandi(….). Lalu saidina umar mengatakan dalam khutbahnya “wahai sariyah Al-jibal” ketika itu manusia saling lihat melihat, maka demikian juga ternaqal kepada kita. Dan manakala terlambatlah datang jum’at seorang muhajirin(…….) maka Saidina Umar mengingkarkan demikian.
Kemudian Saidina Umar memanggil pria tersebut dalam khutbahnya lalu ia berkata أيه ساعة هذه (ini pukul berapa) maka itu juga berpindah kepada kita. Dan Sulaiman Bin Sardi pernah mengatakan dalam azannya, itu juga ternaqal kepada kita. Dan Ibnu Abbas memerintahkan kepada muazzin hendak bahwa berkata ia الصلاة فى الحال itu juga ternaqal kepada kita.
Dan manakala Abdurrahman Bin Ummul Hikam berkhutbah dalam keadaan duduk pada satu kali maka diingkarkan orang atas perbuatannya, demikian ternaqal kepada kita juga. Dan manakala Marwan Bin Hikam berkhutbah satu kali sebelum shalat hari raya, niscaya diingkarkan juga atas perbuatannya dan itu juga ternaqal kepada kita.
Dan manakala diseru oleh saidina Usman Bin Affan ketika banyaknya manusia pada hari jum’at, maka tidak ada seorang pun yang mengingkari demikian, maka dinaqalkan pula kepada kita. Dan manakala Saidina Umar mengumpulkan manusia kepada Ubai Bin Abi Ka’ab untuk mendirikan shalat terawih dua puluh rakaat, itu pun tak seorangpun yang mengingkari demikian, maka itu juga dinaqalkan kepada kita.
Dan kebanyakan hadis itu diriwayatkan dalam kitab Shahihaini (shahih bukhari dan shahih muslim) dan ketinggalan-ketinggalan hadis tersebut diriwayatkan dalam kitab-kitab yang lain. Dan seandainya kita sepakat untuk menghitung berapa banyak dari contoh-contoh yang dinaqalkan kepada kita, niscaya pasti tidak terjangkau dan tidak terbatas. Maka oleh karena itu tidak pernah didengarkan khutbah dengan bahasa yang selain dari bahasa Arab hingga zaman sekarang.
Adapun dalil yang berdasarka dari hadis, itu sabda Rasullullah SAW:]

صلوا كما رأيتمونى أصلى (رواه البخارى)
Sembahyanglah sebagaimana telah kamu lihat aku sembahyang. (H.R Imam Bukhari).

Dan selagi akan datanglah pembahasan ambilnya hadis dari Imam Nawawi dalam Syarah Muhazzab jilid….hal....
Dan adapun dalil yang berdasarkan dari Qias (anoalogi) adalah sesungguhnya khutbah itu adalah zikir mafrudhah (zikir wajib), sama juga seperti tasyahud dan takbiratur ihram. Sedemikian yang tercantum dalam kitab muhazzab pula jld…..hal…..
Dan Allah SWT telah mengibaratkan (mengeksperisikan) kata-kata khutbah itu dalam kitab Nya yang megah, satu kali Allah mengungkapkan dengan kata-kata Al-Qur’an, pada tempat sekira-kira Allah berfirman:

Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (Q.S Al-A’raf 204).

Syaikhuna Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syaikhuan Al-Ramli dan Imam-Imam yang lain berkomentar waridlah ayat ini pada masalah khutbah, ini adalah berdasarkan komentar kebanyakan ulama Mufassirin, bahkan mayoritas mereka (Tuhfah jilid 2 hal 429, dan nihayah jilid 2 hal 326).
Dan pada kali yang lain Allah SWT mengungkapkan kata-kat khutbah itu dengan kata-kata Az-Zikri, pada tempat sekira-kira Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.

Berkatalah Abu Su’ud dan juga lainnya makna ayat adalah :

امشوا واقصدوا الى الخطبة والصلاة
Pergilah dan bersukkanlah untuk khutbah dan sembahyang.

Dan berkatalah Imam Al-Razi yang dimaksudkan dengan kata-kata zikir dalam ayat itu adalah al-khutbah, sedemikian mayoritas ahli tafsir mengatakan. Rasulullah SAW mengeksperisikan kata-kata khutbah itu dalanm sabdanya dengan kata-kata zikir pula. Pada sekira-kira beliau berkata:

من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثم راح فكانما قرب بدنة و من راح فى الساعة الثانية فكانما قرب بقرة ومن راح فى الساعة الثالثة فكانما قرب كبشا أقرن ومن راح فى الساعة الرابعة فكانما قرب دجاجة ومن راح فى الساعة الخامسة فكانما قرب بيضة فاذا خرج الامام حضرت الملئكة يسمعون الذكر (رواه الشيخان عن ابى هريرة )
Artinya:
Barang siapa yang mandi pada hari jum’at itu sama juga dengan mandi junub, kemudian dia pergi mandi jum’at, maka seolah-olahnya dia mendapat seekor unta. Dan barang siapa mendatangi jum’at pada waktu yang kedua, maka seolah-olahnya mendapat seekor lembu. Dan barang siapa yang mendatangi jum’at pada waktu yang ketiga maka, seolah-olahnya mendapat seekor kibas. Dan barang siapa yang mendatangi jum’at pada waktuyang keempat mak seolah-olahnya mendapat seekor ayam. Dan barang siapa yang mendatangi jum’at pada waktu yang kelima maka, seolah-olahnya mendapat sebuah telur. Maka apabila keluarlah imam niscaya maka datanglah para malaikat untuk mendengar zikir(khutbah)(Syaikhani dari Abi Hurairah).

Dan berkomentarlah Qulyubi dan lainnya makna zikir itu adalah khutbah (hasyiah mahally jld 1 hal 530). Oleh karena demikian, maka sebutlah keadaan khutbah itu zikir dengan ayat dan hadis. Adapun keadaannya khutbah itu mafrudhah, maka sudah jelas dan nyata, karena demikian sebutlah keadaan khutbah itu zikir yang difardhukan, sama juga seperti tasyhud dan takbiratur ihram.
Kemudian Imam Nawawi dan Syaikhuna Ibnu Hajar dan Syaikhuna Ramli telah memberi alasan faktor mesti (wajib) shalawat atas Nabi Muhammad SAW dalam khutbah, karena khutbah itu adalah suatu ibadat yang berhajat kepada zikrullah. Sama juga seperti azan dan shalah (syarah muhazzab jld…hal….,tuhfah jld 2 hal 484, dan nihayah jld 2 hal 312).
Sedangkan ibarat Mugni serta matannya adalah rukun dua khutbah ada lima, yang pertama adalah memuji kepada Allah karena itba’k (mengikut jejak Nabi) dan yang kedua bersalawat kepada Nabi SAW karena khutbah itu adalah satu ibadat yangberhajat kepada zikrullah maka berhajatlah kepada zikrurasulullah faktornya karena khutbah itu adalah ibadah (Mugni Mukhtaj jld 1 hal 388).
Dan Ibnu Katsir mengatakan dalam kitabnya tidak sahlah dua khutbah tersebut kecuali dengan bersalawat kepada Nabi SAW, alasannya karena khutbah itu adalah ibadah yang berhajat kepada zikrillah maka berhajatlah kepada zikrirasulillah (ibnu katsir jld 3 hal 514), maka dikatakan orang khutbah itu adalah ibadah yang berhajat kepada menyebut Allah dan Rasul Nya, sama juga seperti azan dan shalah.
Maka disyaratkan pada khutbah tersebut berbahasa Arab pula, ini berdasarkan qias yang lain. Dan dengan ini qias pula sempurnalah istidlal (menuntut dalil), maka nyatalah mesti berkhutbah dengan bahasa Arab, dengan kitab (ayat) dan sunnah (hadis) dan qias (analogi).
Adapun ibarat para Imam Mujtahid itu jelas kepada mengsyaratkan demikian pula. Maka Imam Nawawi mengungkapkan dalam kitabnya pada sebuah فرع (cabang), adakah disyaratkan khutbah dengan bahasa Arab? Maka pada pembahasan ini ada dua tariq (jalur). Menurut pendapat yang asah (kuat) dari salah satu dua tariq tersebut mensyaratkan demikian dan pendapat ini telah diqata’(disepakati) oleh manyoritas ulama, karena khutbah itu adalah zikir yang difardhukan, maka disyaratkan padanya berbahasa Arab, sama artinya seperti tasyahut dan takbiratur ihram. Setelah nabi bersabda dalam satu hadis yang diriwayat oleh imam bukhari صلوا كما رأيتمونى أصلى dan adalah Nabi SAW di kala itu yang berkhutbah dengan bahasa Arab.
Dan dari tariq yang kedua ada dua pendapat, yang kedua pendapat tersebut diceritakan oleh segerombolan ulama, salah seorang dari kalangan mereka adalah Imam Al-Mutawally, sedangkan menurut pendapat yang pertama dari dua pendapat tersebut disyaratkan demikian. Dan menurut pendapat yang kedua berbahasa arab itu disunatkan dan tidak di syaratkan,karena maksud dari khutbah tersebut adalah nasehat maka sampailah maksud dengan bahasa apa saja (majmu’k jld 4 hal 522).
Dan terdapat dalam kitab Raudhatut Talibin karangan Imam Nawawi, ada satu tulisannya yaitu adakah disyaratkan khutbah dengan bahasa Arab tiap-tiapnya? Maka pada ini masalah ada dua pendapat juga. Menurut pendapat shahih (kuat) disyaratkan (raudhatuttalibin jld 1 hal 190).
Dan terdapat juga didalam kitab Syarah Kabir yang diberi nama dengan Fathul Aziz karangan Imam Ar-Rafi’i serta matannya yaitu Al-Wajiz karanngan Imam Abu Hamid Al-Gazali, satu tulisannya dan adapun rukunnya khutbah itu ada lima, yang pertama memuji Allah dan mestilah dengen lafad الحمد. yang kedua bersalawat atas Nabi Muhammad SAW dan mestilah dengan lafad الصلاة. Yang ketiga adalah wasiyat, karena maksud dari wasiat adalah nasehat. Maka memadalah kata-kata أطيعوا الله yang keempat adalah do’a untuk orang mukmin dan sekurang-kurang nya do’a adalah رحمكم الله dan yang kelima adalah qiraah ayat al-qur’an, dan sekurang-kurangnya ayat adalah satu ayat.
Dan bagi anda ada peluang untuk membahas pada dua masalah, yaitu pada ungkapan Imam Rafi’i dan Imam Gazali, mestilah lafad الحمد dan lafad الصلاة. Masalah yang pertama adalah sesungguhnya pada menghukum menentukan dua lafad tersebut itu mengkehendaki tidak memadalah membaca keduanya dengan bahasa ajam (bukan bahasa arab).
Maka adakah itu sedemikian? Jawabannya sesungguhnya pada mensyaratkan keadaan tiap-tiap khutbah dengan bahasa Arab itu ada dua pendapar. Menurut pendapat yang kuat bahwa sungguh berbahasa arab disyaratkan karena mengikut Nabi, dan telah berpijak bagi demikian oleh manusia. Sedangkan menurut pendapat yang dhaef (muqabil ashah) tidak disyaratkan, karena dii’tibarkan makna. Dan pendapat yang dhaef tersebut serta pendapat yang kuat imam…….menyebutkannya dalam kitab Tatimmah (syarah kabir serta matan jld 4 hal 579).
Dan tersebut dalam Syarah Mahalli serta Minhaj disyaratkan keadaan tiap-tiap khutbah dengan bahasa Arab sebagaimana yang telah berpijaklah manusia baginya (mahally jld 1 hal 228). Maka Imam Nawawi dalam Raudhah jld 1 hal 190, Imam Rafi’i dalam Syarah Kabir jld….hal…dan Imam Mahally dalam Syarah Minhaj menyatakan disyaratkan berbahasa Arab pada tiap-tiap rukun khutbah dan tawabi’nya.
Maka apabila ada orang tanya, mengapa demikian ? padahal Syaikh Qalyubi mengembalikan dhamir pada kata-kata كلها Dalam ibarat mahalli jld 1 hal 322 kepada rukun-rukunnya, Jawabannya: Syaikh Qalyubi mengikut Syaikh Islam Al-Anshari dan akan datanglah juga jawaban pertanyaan tersebut, lebih-lebih lagi kemungkinan-kemungkinan tersebut tidak ada didalam ibarat (ungkapan) Syaikhani,baik dalam raudhah dan syarah kabir.
Maka ibarat mereka jelas mensyaratkan bahasa Arab pada sekalian rukun tiada syubhat (ragu) bagi sekalian musannif, dan juga para musannif memberi alasan bagi mensyaratkan bahasa Arab dalam khutbah karena mengikut ulama Salaf dan Khalaf.Dan alasa para musannif yang menyatakan memada mengetahui keadaan khutbah itu nasehat secara global apabila kaum tidak mengetahui khutbah dengan bahasa Arab itu jelas pada mensyaratkan bahahsa Arab pada khutbah dan tawabi’nya bukan pada rukun-rukun saja.
Maka jika ada orang tanya, bagaimana Imam Nawawi menuntut dalil dari pada hadis صلوا كما رأيتموني أصلي pada hal dalam hadis tersebut tidak disindirkan bagi khutbah, akan tetapi dalam hadis tersebut hanya sanya diperintahkan shalat. itu dapat kita jawab dengan satu jawaban, padahal kan sudah terurai dalam kitab usul, sesungguh memerintahkan dengan sesuatu itu adalah memerintahkan dengan apa saja yang menyangkut dengan dengan sesuatu itu (lataiful isyarah hal 24).
Maka Imam Jalalul Mahally mengungkapkan dalam kitabnya, seseatu yang telah dikadarkan lalu tidak sempurnalah wajib kecuali dengan sesuatu tersebut, maka adalah sesuatu itu wajib pula. Faktornya karena wujub wajib, baikkah itu syarat maupun sebab. Ini Pendapat sekongkol dengan pendapat mayoritas ulama (jam’ul jawami’ jld 1 hal 192).
Oleh karena demikian, maka apabila dirintahkan dengan sesuatu itu diperintahkan juga dengan syarat dan wajibnya sesuatu (Itar jld 1 hal 251). Dan berdasarkan ini qaedah, dapat kita fahamkan dalam hadis tersebut, diperintahkan dengan shalah maka diperintahkan juga dengan khutbah, wudhuk, menutup aurat, menghadap kiblat dan lain-lain demikian yang tertawaquflah sah shalat atasnya, baikkah itu rukun atau syarat.Maka wajiblah membaca sekalian rukun khutbah dengan bahasa Arab sebagaiman yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW.
Dan seandainya kita terimakan, bahwa sungguh hadis hadis tersebut hanya sanya warid (tersurat) pada masalah shalah, dan tidak tersirat dalam hadis tersebut kepada khutbah. Maka dalil manakah yang ditunjuki kepada wajib khutbah….? Maka apabila ada orang yang menjawab, dalil yang ditunjuki kepada wajib khutbah bahasa arab adalah mengikut ulama Salaf dan Khalaf.
Maka kita tanya lagi untuk tertolak debatan tadi, adakah mereka berkhutbah pada rukun-rukun khutbah dan tawabi’nya dengan bahasa Arab hingga kenegeri ajam…? Padahal kan sudah nyata dalam kitab Haliyatuttardi yaitu Syarah Jalibatul Arbi(nadham jaliyatul karbi) dan kitab tersebut sebahagian dari kitab-kitab tarihk(sejarah, biografi) bahwasanya islam masuk kenegeri Kiralah ( ) pada masa kerajaan Usman Bin Affan dan sesungguhnya Usman mengutus satuan tentara dibawah pemerintahan Mugirah Bin Sya’ab dan sampailah mereka kenegeri Kalikut ( ).
Dan adalah dinegeri itu seorang raja yang dikenal dengan Zamudun, dan manakala ia mendengar berita Nabi SAW dan mukjizat terbelah bulan, dan adalah raja serta penduduk negeri tersebut itu yang melihat mukjizat terbelah bulan, lalu raja meminta kepada mereka untuk menerangkan kejadian dan kapan terjadinya? Terus para satuan tentara memberi tau kejadian itu.
Maka manakala menyamai berita dengan kejadian yang mereka lihat niscaya islamlah raja serta penduduknya dan adalah kejadian islam raja dan penduduknya itu pada tahun 27 hijriah (….., masehi) sedemikian dalam syarah haliyah jld hal ).
Dan saya mendapat berita dari seorang yang siqah, sesungguh nya orang siqah itu ketika dia melewati mesjid dinegeri Kalyakut sedikit sebelum bangunan mesjid, ia melihat lembaran papan yang tergantung diatas mesjid dan tertulis pada papan itu bahwasanya mesjid ini didirikan pada tahun 22 hijriah ( , masehi). lalu ia berkata lagi ini benar-benar aku telah membacakannya dan tanggal pun tertulis dipapan tersebut ( …). kemudian dia mengkhabarkan lagi bahwa sunguh kubur itu terangkat dan terangkatlah juga dua cahaya disekeliling mesjid itu.
Maka dari cerita ini kita dapat memahami bahwasanya islam masuk kenegeri Kiralah sebelum demikian bangunan, karna jauh kemungkinan didirikan mesjid dalam satu negeri beriringan masuk islam kegeri tersebut. Dan begitu juga masuknya islam keseluruh penjuru negeri Ajam pada masa sahabat. Dan setelah menaklukkan kota-kota, maka islamlah kebanyakan para tentara dan kenbanyakan orang-orang negeri habsyi dan orang-orang negeri Rum (Roma) dan lain-lain mereka.
Lalu mereka menghadiri majlis jami’k (tempat-tempat keramaian) padahal adalah saat itu manyoritas mereka tidak mengerti bahasa Arab, sedangkan manyoritas para sahabat mereka mengerti bahasa Ajam, meskipun demikian tidak pernah berkhutbah oleh seorangpun diantara mereka dengan bahasa ajam kecuali dengan bahasa Arab sekalipun bukan khutbah jum’at, padahal motifasi pada saat itu semestinya diterjemahkan.
Motifnya adalah karena orang Ajam yang berada pada masa itu tidak mengerti bahasa Arab, faktornya karena baru tersebarnya islam dinegeri tersebut. Sementara penduduk negeri tersebut berhajat kepada belajar hukum-hukum syari’at. Maka nyatalah ada pendorong pada zaman itu dan tiadalah penghalang baik dari pada malas dan lainnya yang dimaklumkan dari pada pemalas-pemalas yang telah dibuktikan, niscaya nyatalah disyaratkan berbahasa Arab pada demikian khutbah pula.
Maka jika ada orang bertanya, padahal Syaikh Islam Zakaria Al-Anshari dan pengikutnya sudah menjelaskan, yang dimaksudkan dengan kata-kata( ) adalah rukun-rukunnya saja. Maka dapat kita pahamkan yang selain rukun tidak disyaratkan dengan bahasa Arab. Kita jawab tidak berguna sama sekali karena maksudnya Syaikh Islam, berbahasa pada selain rukun itu bukan syarat sah khutbah, ini memang demikian maka mendatangi rukun itu bukan syarat pula.
Lalu manakala adalah Syaikh Islam itu menentang dengan ibarat Imam Nawawi dan Imam Rafi’i dan Muhaqqaq, karena sesungguh mereka mensyaratkan mendatangi tawabi’k (yang diikuti) dan memperpanjangkan khutbah, karena berdasarkan satu qaedah (asas) menyebut lajim melajimi menyebut meqaiyat. Contohnya menyebut berdiri bagi seseorang melajimi menyebut seseorang, kebalikan menafikan qayit, maka apabila kita arahkan nafi itu kepada muqaiyad niscaya terbenarlah ternafi qayid dan muqaiyad sekaligus, dan boleh jadi ternafi qayid aja.
Sedemikian yang telah dijelaskan pada posisinya. Oleh karena demikian, seolah-olahnya mereka berkomentar disyaratkan berbahasa Arab pada tiap-tiap khutbah, maksudnya pada tiap-tiap khutbah dan kesudahnnya pula, dan jelaslah bahwasanya tidak ditasawurkan keadaan khutbah dengan bahasa Arab kecuali dikhutbahkan dengannya, maka lajimlah mereka mengatakan mesti mendatangi tawabi’k.
Oleh karena demikian maka Syaikh Islam Zakaria Al-Anshari menghendaki untuk menolak ini maksud dengan menyatakan maksud mereka. Lalu dia berkata yang dimaksudkan dengan kata-kata كلها adalah rukun-rukunnya saja sesungguhnya para Imam-Imam tersebut meskipun mengitlakkan, mesti berbahasa Arab pada sekaliannya, akan tetapi sesungguh maksud mereka disyaratkan berbahasa Arab pada rukun-rukun khutbah saja ketiadaan lainnya itu untuk sah khutbah.
Adapun disyaratkan berbahasa Arab bagi tawabi’k itu hanyasanya untuk dihitungkan dengannya bukan untuk sah khutbah. Maka kepada Allah SWT kita serahkan, Allah lah yang Maha sanggup menjelaskannya lagi menjawabnya.
Maka jelaslah maksud Syaikhani dan Muhaqqiq sesungguh bahasa Arab itu disyaratkana pada tiap-tiapnya, artinya pada tiap-tiap rukun dan tawabi’ , karena bahasa Arab itu adalah satu syarat untuk di pada tiap-tiap rukun khutbah, dan menghasilkan semangat memanjangkan khutbah dengan sesuatu yang didatangkan dari tawabi’ sehingga jikalau didatangkan tiap-tiap rukun khutbah dengan bahasa Arab, sedangkan kesudahannya dengan bahasa Ajam dan tidak panjanglah diselangi, niscaya sahlah khutbah.
Berdasarkan pendapat mayoritas ulama, akan tetapi tidak diketangkan sesuatu yang didatangkan dengan bahasa Ajam, ittifak ulama tanpa khilaf (selisih pendapat) diantara mereka pada maknanya, dan Ibnu Qasim juga mendukung pendapat mayoritas ulama tersebut dan Syaikhuna Ramli juga sekongkol dengan mereka.
Kemudian dalam kitab Syaikhuna Ali Syibran Almalasyi, terdapat satu tulisannya sesudah komentar matannya yang dimaksudkan dengan kata-kata adalah rukun rukun khutbah dari matan ini tetap kita pahami, seandainya di bacakan sesuatu diantara rukun-rukun dua al khutbah bukan dengan bahasa Arab, niscaya tidak mudharat.
Pendapat ini sekongkol dengan pendapat Syaikhhuna Ramli, tapi ada qaitnya mahal (kedudukan) tidak mudharat apabila tidak lama diselangi dengan bahasa yang ajnabi dan adapun kebalikannya, maksudnya lama diselangi, maka mudharat. Faktornya karena tidak muafakat (mengiringi) sama juga seperti diam yang lama diantara rukun-rukunnya.
Wajah persamaannya sesungguh selain bahasa Arab itu laga (sia-sia) karena mendatangi dengan bahasa Ajam serta sengguh berbahasa Arab itu tidak memada , maka jadilah insan itu sia-sia (hasyiah bujairimi jilid 1 hal 389, nihayah jld 2 hal 317 , syarqawi jld 2 hal 488). Maka berkomentar Syaikh Ali Syibran Al-Malasyi dan Syaikhuna Ramli pada masalah ini ada qaidnya ini menunjukkan sesungguh berbahasa Arab itu disyaratkan pula pada tawabi’ menurut pendapat Syaih Islam Zakaria Al-Anshari pula, alasannya karena untuk dihitungkan dengannya tiap-tiap.
Dan apabila didatangkan tawabi’ bukan dengan bahasa Arab niscaya adalah tawabi’ tersebut itu sia-sia juga menurut pendapat Syaih Islam dan apabila bukan sedemikian niscaya tidaklah hamal interpretasi kalam, komentar Syaih Islam kepada tidak lama diselangi itu satu pendapat, akan tetap adalah interpretasi kduanya itu terbina (berdasarkan) pada pendapat syaih islam juga, yaitu tidak mensyaratkan bahasa Arab pada sekalian rukun.
Maka manakala Syaih Ali Syibran Malasyi dan Syaikhuna Ramli memberi interpretasi komentar Imam kepada qaid tersebut niscaya dapat kita fahamkan begitulah yang dimakusd oleh Syaih Islam, maka sesutu yang didatangkan atau dibacakan bukan dengaan bahasa Arab itu sia-sia menurut pendapat mayoritas ulama.
Maka apabila menanyakan Syaikhuna Syibran Malasyi setelah mengambil ibarat Syaih Ahmad Ibnu Qasim Al-Ubadi menjelsakan, apabila didatangka tawabi’ dengan bahasa Ajam dicelah-celah rukun tidak mudharat secara mutlak, artinya apakah lama diselangi atau tidak. Buktinya dia berkomentar lagi setelah itu, yang isinya والقياس الغ tidak mudharat secara mutlak.
Lalu dia membedakan diantara diselangi dengan bahasa Ajam dan diantara diam, kalau pada diam itu i’rad (berpaling) dari khutbah secara menyeluruh, tapi kalau selain bahasa Arab tidak sedemikian karena pada bahasa Ajam ada nasehat secara global, maka tidak keluarlah sama bahasa Ajam tersebut dari syaknu (kondisi) khutbah karena menurut kehendaki ilat di hetangkan sesuatu yang didatangkan dengan bahasa Ajam (hasyiah bujairimi jilid 1 hal 389, hasyiah tuhfah jlid hal 489, nihayah jilid hal ). Jawabannya adalah komentar Syaikhuna Ali Syibran Al-Malasyi itu bukan untk mengistidarak (mengecualikan) Imam Nawawi, Hafiz dan Syaikhuna Ramli dan Ibnu Qasim dan lain-lain nya ……..akan tetapi hanya menampakkan qias dan menjelaskan sesungguhnya hukum adalah keluar dari qias tersebut. Sedemikien komentar Syihabuddin Syalihati semoga Allah SWT melimpahkan rahmat diatasnya dalam kitab fatwanya yang disusun pada tahun 1328 hijriah (fatwa syaliati jilid hal ).
Lalu mereka menyatakan lagi wau yang ada pada ibarat Syibran Al-Malasyi adalah wau hal. Maka seolah-olah nya Syibaran Al-Malasyi setelah mengambila ibarat Syaihk Ahmat Qasim berkata حال كون القياسا الاجزاء الخ (pada hal menurut qias itu memada) dan mereka juga memberi alasan, karena ini qias tidak dii’tibarkan disisi mereka. Ini pembahasan sama dengan pembahasan yang dibahaskan oleh Syiah Abdurrahman Al-Auzai’ pada masalah budak kecil yang mengucap dua kalimat syahadat, sesungguhnya disunatkan bagi budak itu di perintahkan shalat da puasa dan diatafkan hamba tersebut kepada shalat dan puasa tanpa dipukul, faedahnya agar dia biasakan kebaikan setelah balig (dewasa) walaupun dia enggan munurut qias sedemikian.
Dan seandainya kita terimakan pendapat Syaih Ali Syibran Al-Malasyi selisih dengan pendapat Syaikhani (Imam Nawawi dan Imam Rafi’e) maka bagaimana percaya kepada komentarnya semoga Allah SWT melimpahkan rahmat kepadanya. Karena ada satu pedoman bagi kita yang telah ditetapkan pada tempatnya, maka terdapat dalam kitab fathul mu’in karangan Syaikh Zainuddin Al-Malibari pada bab qias (القضاء ) satu tulisannya yang berbentuk الخ اعلم .
Sesungguh yang mu’tamat (yang kuat) dalam mazhab (pendapat) untuk rukun dan fatwa adalah pendapat yang sekongkol syaikhani, kemudian pendapat yang dikuatkan oleh imam nawawi , kemudian penadpat yang dikuatkan oleh rafi’e, kemudian pendapat yang dikuatkan oleh mayoritas ulama, kemudian pendapat yang ditarjih oleh yang a’lam (lebih war’a).

Syaikhuna Ibnu Hajar menyatakan, kode etik ini telah disepakati oleh ulama mutaakhirin dan orang yang mewasiatkan kepada kita untuk berpegang pendapat Syaikhani adalah Masyaikhuna (para guru-guru kita) dan Syaikh Nuruddin Ali Al-Samhudi senantiasalah Masyaikhuna mewasiatkan kepada kita untuk mengifta (menagmbil hukum) dengan pendapat yang sekongkol Syaikhani dan bahwa kita paling dari pendapat yang selisih dengan pendapat keduanya dan Syaikhuna Ibnu Ziad juga menyatakan, mesti bagi kita pada kebiasaan untuk berpegang kepada pendapat yang ditarjih (kuat) oleh Syaikhani. Meskipun ada orang ambil dari manyoritas ulama kebalikannya (ianatuttalibin jilid 4 hal 233).
Dan apabila adalah hukum itu berselisih bagi pendapat Syaikhani dengan ini kondisi, maka bagaimana disangkakan bahwa sungguh Ali Syibran Al-Malasyi menyalahi keadaan, akan tetapi …………….dan jikalau ditakdirkan memang Syaihk Ali Syibran Al-Malasyi menyalahi mereka, maka bagaimana percaya kepada komentarnya tadi dalam kitab fathul mu’in? maka yang terlebih layak dengan adab kita jawab ? komentarnya tadi interpretasikan kepada satu pendapat nya yang tidak menyalahi dengan mereka.
Sebaimana yang telah kami nyatakan sesungguhnya Ali Syibran Al-Malasyi telah memberi alasan bagi mengiktibarkan bahasa Arab pada khutbah shalat dua har raya, yang sesungguhnya adalah bukan difardhu berkhutbah dengan bahasa Arab itu semata-mata nasehat, tetapi kebiasaan berkhutbah dengan bahasa Arab adalah mengikuti jejak Nabi, alasannya karena meninjau khutbah itu ibadat sebagaimana akan datanglah komentar ambilnya pendapat.
Dan Syaikh Syailati juga berkomentar dalam pertanyaannya seandainya kita terima pendapat yang dikeluakan oleh Ali Syibran Al-Malasyi itu melakukan dengan tanpa mudharat membaca tawabi’ denngan bahasa Ajam. Ini dapat kita jawab sesunggh khilaf apabila berkisar diantara sahnya berkhutbah dan tidak sahnya niscaya mestilah kita jauhkan pendapat ini dan meskipun Ali Syibran Al-Malasyi mengatakan tidak mudharat, tapi dia tidak menafiakan bahwa makruh (fatwa syaliati jilid hal ).
Maka jikalau ada orang yang bilang qias khutbah kepada zikir-zikir shalat adalah qias ma’al fariq (qias serta ada perbedaan), alasannya karena semua zikir-zikir shalat tertentu lafad-lafadnya, sedangkan khutbah tidak demikian …! Jawabannya adalah sebagaimana pada shalat ada lafad-lafadnya yang tertentu. Seperti Al-FATIHAH, tasyahud dan takbiratur ihram, dan ada juga tidak sedemikian seperti zikir-zikir ruku’ dan sujud dan do’a sesudah tasyhud akhir,maka sesungguh lafad-lafadnya tidak tertentu. Bahkan tertunai dengan shigat (lafad) apa saja yang didatangkan / dibacakan, akn tetapi mesti dengan bahasa arab, sedemikian juga pada khutbah…..ada lafad yang tertentu seperti Al-hamdu lillah dan As-Salah dan ada juga lafadnya yang tidak tertentu seperti wasiat dengan taqwa, buktinya Imam Nawawi mengungkapkan dalam kitabnya:

وأركانهما خمسة حمدالله تعالى والصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم ولفظهما متين والوصية بالتقوى ولايتعين لفظها على الصحيح (المنهاج 1 رقام 320 ).
Rukun-rukun dua khutbah ada lima pertama memuji kepada Allah kedua salawat kepada rasulillah saw dan tertentulah lafad keduanya dan ketiga berwasiat dengan taqwa dan tidak tertentulah lafadnya menurut pendapat kuat (minhaj jilid 1 hal 320).

Oleh karena demikian maka tidak adalah perbedaan diantara zikir khutbah dengan zikir shalat disegi ini, kemudian ada sebahagian manusia yang membedakan keduanya, katanya kalau khutbah itu dikhitabkan bagi kaum, sedangkan zikir adalah tidak sedemkian karena zikir-zikir shalt itu dikhitabkan bagi Allah SWT? Kita jawab perbedaan ini tidak diiktibarkan disisi kebanyakan ulama. Pada sekira-kira mereka berkomentar, sesungguhnya khutbah itu zikir mahfdudah, maka disyaratkan pada zikir mafdudah itu berbahasa Arab, sama juga seperti tasyahud dan takbiratur ihram. Sebagimana yang telah kami jelaskan pada awal permulaan pembahasan.
Maka para ulama tersebut tidak mengitibarkan perbedaan ini menjadi penghalang qias, bahkan perbedaan ini tidak kuat dari asal usulnya, alasannya karena pada shalat ada memuji kepada Allah SWT dan juga menyebut wahyu Nya, contohnya seperti Al-Fatihah dan ada juga berdo’a kepada baginda Rasulullah SAW, contohnya sepeti salawat kepadanya sesudah tasyahud.
Dan ada juga do’a untuk orang mukmin, seperti dalam tasyahud dan ada juga khitab bagi para hadirin, seperti salam dan kesemuaan ini ada pada khutbah pula, seperti memuji kepada Allah SWT dan ada pula do’a bagi Rasulullah SAW, seperti bersalawat kepadanya dan ada juga do’a bagi orang mukmin karena ini do’a rukun dua khutbah dan ada pula khitab bagi para hadirin, seperti wasiat. Maka oleh karena demikian perbedaan ini ditolakkan dari asal-usulnya.
Dan seandainya diterimakn pada qias khutbah kepada azan itu salawat, sejahtera dari perbedaan tadi, karena tersembunyi pada keadaan maksud azan adalah untuk memberi tau manusia bagi masuknya waktu shalat, sebagaimana yang dibuktika oleh hadis mimpi satu jamaah para sahabat r.a.
Dan sebahagian orang timbul kemusykilan (tidak jelas) pada keadaanya khutbah itu ibadah yang dikerjakan dengan membelakangi kiblat, lalu dia berkata syiar ibadahlah yang menghadap kiblat…? Padahal dia tidak melihat kepada firmannya Allah SWT:

              
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.(Al-Baqarah 115).

Maka jadilah menghadap kiblat itu amrun ta’abudy (kebahtian) dan Allah sungguh mensyariatkan bagi orang tawaf hendak bahwa ia jadikan ka’bah disamping kirinya, karena itu satu syarat untuk sah tawaf. Maka apabila orang tawaf menghadap kiblat ketika tawafnya bukan pada permula, karena menganggap bahwa tawaf itu adalah ibadah dan syiarnya menghadap kiblat. Maka sungguh sia-sialah sa’i nya dan rusak lah tawafnya, sedemikian juga disyaratkan pada shalat sunat dalam perantauan yang mubah (harus) untuk menghadap tempat tujuan dan ka’bah.
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Aimmah Tuddin (Imam-Imam Mujtahid) dan lajim dari ini dakwa kepada mengeluarkan shalat dalam perantauan dan tawaf, dari adanya itu ibadah. Maka tidak ragu lagi pada ini dakwah itu menunjukkan ,menjadi bukti kejahilamanya hukum-hukum agama hendak bagimu jauhi agar tidak tergores dalam jiwa orang banyak .
Dan orang lain juga menyatakan menanyakan….!sesungguh makna khutbah kan wa’dhu (nasehat),maka bagaimana hasil nasehat dengan bahasa Arab bagi orang yang tidak memahaminya, justru demikian sepantasnya diterjemahkan…? Jawabannya sudah kami jelaskan pada awal masalah (hal 1), sesungguhnya makna khutbah pada syara’k (istilahi)adalah…

perkataan yangdi melakukan dengan memuji Allah SWT bersalawat kepada Rasulullah SWT ,dan disudahikan dengen wasyiatdan do’a oleh karena demikian maka tidaklah maknanyakhutbah pada syara’ itu nasehat…..

Dan terdapat dalam kitab Hasyiah Tuhfah pada bab shalat dua hari raya artinya sesungguhnya tiada khutbah bagi para jama’ah wanita, kecuali bahwa di khutbahkan untuk wanita oleh seorang pria. Maka seandainya berdirilah salah seorang dari kalangan mereka dan ia memberi nasehat kepada mereka yang lain, menurut pendapat Syaikhuna tidak mengapa dan Syaihkhuna Al-Kurdi juga sekongkol pendapatnya yang diambil dari kitab Assani dengan pendapat Syaiklhuna (As-Syarwani jilid 3 hal 45).
Maka katanya As-Syarwaniفلو قامت واحدة serta katanya lagi لاخطبة لجماعة النساء itu adalah satu dalil, bukti yang menyatakan kepada bahwa sungguh khutbah dan wa’dhu itu tidak mutaraddhif (mempunyai persamaan arti) keduanya pada syara’ (terminologi). Maka apabila ternafilah salah satu yang mutaraddhif niscaya lazimlah ternafi yang lain, sebagaimana yang telah terurai pada tempatnya .
Adapun keadaan maknanya khutbah pada logat (etimologi) itu adalah wa’dhu, maka tidak menghendakilah kepada boleh menterjemahkannya khutbah……dan keadaan maknanya puasa pada etimologi adalah imsak (menahan diri) itu terdapat dalam firman Allah SWT :

• •             .
Maka Jika kamu melihat seseorang manusia, maka katakanlah :”sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang maha pemurah ,maka aku tidak akan bicara dengan manusia pun pada hari ini” (Q.S. Maryam 26).

Sedemikian juga makna haji pada logat itu Qasad, dan makna zakat adalah (bertambah-tambah) dan taharah (suci), dan makna shalat adalah do’a bikhairi (kebaikan), dan tidak ragulah orang yang berakal (berfikir) pada bahwa sungguh maksud ini ibadah itu tidak terbatas bagi makna tadi, oleh karena itu memadalah imsak (mencegah diri) ganti berpuasa, dan tidak memadalah kasat tanpa naik haji.
Dan tidak memadalah do’a ganti shalat, akan tetapi di syaratkan beberapa perkara yang lain untuk ibadah tersebut agar dihitungkan ibadah itu, maka sedemikian juga khutbah, tidak dihitungkan khutbah itu kecuali dengan beberapa ketentuannya khutbah, sebahagian dari ketentuannya khutbah adalah bahasa Arab, suci dari hadas dan menutup aurat dan berdiri bagi yang mampu dan keadaannya khutbah itu dua kali dan duduk diantara keduanya dan mengerjakannya sebelum shalat juma’t dalam waktu zduhur.
Sekitarnya tidak lama dan selangi diantara keduanya dan memperdengarkan khutbah bagi orang yang terangkat juma’t dengan mereka. Maka tidak menghendakilah keadaan maknanya khutbah pada logat itu wa’dhu dan meninggalkan ini ketentuan itu tertegah lebih-lebih lagi bahwa sungguh keadaan maknanya khutbah adalah wa’dhu tertakyin demikian (menentukan).
Dan kata-kata khutbah ini keda pula makna lain, dan terdapat dalam munjid:

خطب-خطبة وخطبا وخطابة : وعظ : قرأ الخطبة على الحاضرين (منجيد 186)

Dan juga terdapat dalam kitab qamus sebagi berikut:
خطب خاطب على المنبر خطبة بالفتح وخطبة بالضم وذلك الكلام خطبة أيضا أو هى اللكلام المنشور المسجع ونحوه ( القاموس)
Khatib berkhutbah diatas mimbar satu khutbah, cara bacanya harkat, baris kha fatah dan khutbatan, cara bacanya harkat kha dhammah perkataan sedemikian itu khutbah pula, atau yang dikatakan dengan khutbah adalah perkataan ....

Maka untuk mentaksiskan (menentukan) salah satu dua makna tersebut dengan bermaksud serta keadaan lafat itu musyarikat (bersama-sama) itu dikatakan ta’asof (membuat sewenang-wenang) .
Dan berkatalah sebahagian mereka ..! padahal kan para ulama telah menyebut kan sesungguhnya di sunat kan bagi khatib hendak bahwa diajarkan pada khutbah hari raya fitrah hukum-hukum zakat dan pada hari raya adha hukum-hukum udlhiyah (kurban). lalu dikatakan lagi maka bagaimana mungkin diajarkan hukum-hukum fitrah dan kurban dengan bahasa Arab bagi kaum yang tidak memahami bahasa Arab, supaya mereka mungkin mengamalkan dengan demikian belajar.
Dan sedemikian juga disunatkan keadaannya khutbah itu dapat difahamkan dan apabila adalah khutbah dengan bahasa Arab maka bagaimana orang ajam dapat memahamkan khutbah tersebut…? lalu kita menjawabnya sesungguhnya sebagaimana kedudukan posisi khutbah adalah untuk mengajar dan diperintahkan khatib untuk memberi faham (pengertian) sedemikian juga diperintahkan orang jahil untuk menuntut ilmu sebagimana Nabi SAW pernah bersabda :

طلب العلم فريضة على كل مسلم ( رواه ابن عبد البر عن انس)
Menuntut ilmu itu wajibbagi tiap-tiap orang muslim (HR .ibnu abdilbar dari anas)
Sedemikian yang terdapat dalam (kitab janji sangir jilid hal ).

Dan manakala adalah kebantahan syariat kita itu dengan bahasa Arab niscaya lajim (mesti) bagi manusia untuk belajar bahasa Arab sekedar terlepaslah hajad (keperluan), maka apabila para hadirin tidak memahami khutbah dengan bahasa Arab niscaya kembalilah demikian kesalahan kepada mereka bukan kepada khatib dan tidak boleh bagi khatib untuk menterjemahkannya.

شَعْرُ : لاَتَخْتَنْ قَدْمَيْكَ لََوْلَمْ تَدْخُلاَ # فِى النعْلِ بَلْ أَبْدِلْ شِرَاكًا أَطْوَلاً
Jangan engkau khitan kedua kaki mu apabila kamu tidak memasukkan keduanya dalam sandal , akan tetapi ganti khutbah……

Lebih-lebih lagi, bahwa sungguh maksud mereka dengan demikian ta’lim (mengajar) adalah untuk tadhmin (mengandungkan) khutbah akan demikian hukum-hukum, bukan hakikat mengajar, buktinya bahwa sungguh mereka itu ulama tidak mensyaratkan bahwa adalah para hadirin orang jahil demikian hukum. Maka seandainya sembahyanglah satu jama’ah dan adalah tiap-tiap mereka semua mengerti demikian hukum, ataupun adalah para makmum yang hadir lebih mengerti dari pada khatib niscaya disunatkan juga bagi khatib untuk mengajar dan tadhmin pula.
Maka tidaklah maksud mengajar itu semata-mata untuk beramal, karena sesugguh para ulama sudah menjelaskan untuk menunaikan zakat fitrah sebelum keluar untuk mengerjakan shalat hari raya, bahkan dimakruhkan mentak khirkan nya hingga shalat, kecuali karena ada kemaslahatan. Sedemikin juga udhiyah (kurban), maka yang lebih aula (baik) bahwa di sembelih binatang kurban setelah selesai shalat dan khutbah.
Dan pada kebiasaan para khatib menyatakan dalam khutbahnya syarat-syarat udhiyah(kurban) seperti keadaan bintang kurban it sejahtera dari pada aib (cacat) yang menyebabkan kepada kurang harganya dan dagingyna, ataupun khatib mengatakan sunat-sunatnya qurban, seperti keadaan binatang gemuk dan tidak mengkilah mengorbankan setelah selesai sekalian dua khutbah kecuali membelinya sebelum shalat.
Maka apabila adalah maksud dari khutbah itu mengajar yang haqiqi agar mereka mengetahui dengan kehendakinya belajar niscaya adalah yang sepatutnya dikhutbahkan sebelum shalat hari raya sekedar waktu yang sempat menunaikan zakat fitrah pada hari raya fitrah dan sempat menyembelih binatang qurban pada hari raya idul adha, pada hal sungguh disyaratkan disana mesti terakhirnya khutbah dari pada shalat sekiranya tidak lamalah diselangi diantara shalah dan khutbah, lebih-lebih lagi bahwa sungguh pembahasan itu terkhusus pada khutbah dua hari raya bukan sekalian khutbah.
Sedemikian juga disyarat kan keadaan khutbah mafhumah (dimengerti) artinya bahwa adalah khutbah itu apabila didengar oleh orang yang mampu berbahasa arab, niscaya adalah dia itu memahaminya, maksudnya sepatutunya bahwa adalah bahasa arab tersebut itu yang biasa pemakaian dan sejahtera dari garabah (keasingan) yang mukhallah (sunyi) dari pada balagah (kelancaran berbicara). Karena garabah itu menafikan fasahah yang melajimi bagi balagah. Sedemikian yang telah diuraikan pada maudhu’nya (kitab).
Dan apabila bukan demikian,maka bagaimana mungkin para ulama mensyaratkan berbahasa arab apabila adalah di kalangan mereka orang arab,serta wajib belajar bahasa arab bagi orang-orang yang tidak memahaminya.apakah anda tidak melihat jawaban qadhi husaini pada satu pertanyaan yang ditanyakan kepadanya, apa faedah khutbah dengan bahasa arab apabila adalah kaum tidak memahaminya.lalu qadhi menjawabnya faedahnya adalah العلم بالوعظ فى الجملة(mengetahui nasehat secara global).
Dan berkatalah syaikh bujairimi dalam kitab hasyiah jamal yaitu syarah dari syarah manhaj: seolah-olah ma’na العلم بالوعظ إلخ : sesungguhnya para hadirin mengetahui bahwasanya katib menasehati mereka, akan tetapi mereka tidak mengetahui isi nasehat.(as-syubari). Dan ada orang bilang,ini ma’na,datang juga pada khutbah dengan bahasa ajam,akan tetapi ini berlainan dengan perbuatan ulama salaf dan khalaf.(hasyiah bujairimi jilid 1 hal 389).
Dan tersebut dalam kitab basyrul karim:keadaan khutbah adalah nesti dengan bahasa arab, meskipun adalah para hadirin orang ajam, karena untuk itba’ ya’ni mengikuti perbuatan nabi saw.(basyrul karim jilid hal ).dan juga tersebut dalam kitab syarqawi serta syarah tahrir :keadaan khutbah adalah mesti dengan bahasa arab,walaupun adalah para hadirin orang ajam yang tidak memahaminya.(syarqawi serta syarah jilid 1 hal 267).
Dan syaikhuna ibnu hajar telah menyatakan dalam kitabnya:dan tidak disyaratkan suci para hadirin dan hadir mereka ditempat shalat dan memahami mereka apa yang telah mereka dengar(tuhfah jilid 2 hal 492). Dan terdapat dalam hasyiah qalyubi :maksud dari ibarat musannif (اسماع اربعين) memperdengar empat puluh orang hadirin meskipun mereka tidak mengerti ma’na-ma’na lafad khutbah tersebut(qallyubi jilid 1 hal 233).
Dan syaikhuna muhammad ramli menyatakan dalam kitab nihayah :pendapat imam zarkasyi yang menyatakan disyaratkan mengrerti khatib sekalian rukun-rukun khutbah ditolakkan karena alasannya menyalahi dengannya,yaitu bagaikan orang yang mengimami satu jama’ah sedangkan dia tidak mengerti ma’na al-fatihah(nihayah muhtaj jilid 2 hal 319).
Dan syaikh ali syibri amlasi menyatakan dalam hasyiahnya :maksut dari ibarat syaikhuna ramli من اشطراط معرفة الخطيب الخ adalah mengerti ma’na-ma’na khutbah, sebagaimna yang mengisy’ar(memberitahu)oleh komentarnya selanjutnya yaitu :bagaikan orang yang mengimami satu jama’ah sedangkan dia tidak mengerti ma’na al-fatihah.maka tidak menentanglah pada masalah yang telah lalu dari syaikh ahmad ibnu qasim bahwasanya mendatangkan pada mengi’tibarkan perbedaan diantara rukun-rukun dan lainnya rukun disana alasa lain(hasyiah ali syibri amlasi jilid 2 hal 319).
Dan berkatalah syaikhuuna ibnu hajar dalam kitabnya satu pendapat yang telah ditarjih:maka disyaratkan memperdengan dan mendengar bilfi’li( )walaupun mereka tidak memahaminya,dan tidak disyaratkan mengerti khatib akan ma’na rukun-rukun khutbah,khilaf bagi imam zarkasyi(fathul jawad jilid hal ).
Dan syaikhuna ahmad ramli berkomentar pula dalam kitabnya: dan tidak disyaratkan hadir para jama’ah ditempat shalah dan memahami mereka apa yang telah mereka dengar sebagaimana memadalah membaca fatihah dalam sembahyang bagi orang yang tidak mengetahui ma’nanya(nihayah muhtaj jilid 2 hal 323).
Dan terdapat dalam kitab nihayah matlab karangan imam haramaini pada bab shalat hari raya setelah satu masalah yang telah dia tarjih,beliyau mengatakan نعم الخ :akan tetapi, untuk tertunainya sunat di i’tibarkan memperdengar dan mendengar dan keadaan khutbah dalam bahasa arab(nihayah matlab jilid hal ).
Maka pada komentarnya imam haramaini “keadaan khutbah dalam bahasa arab”, itu coba anda lihat, walaupun adalah mereka bukan orang arab. ……aku berkomentar menurut dhahir itlak syaikh mahally sedemikian, dan syaihk ali sybri amlasi memberi alasan, sesungguhnya, tidaklah maksud dari khutbah semata-mata nasehat akan tetapi kebiasaan padanya adalah ittba’ (mengikut perbuatan nabi), karena meninjau keadaanya khutbah itu ibadah.
Maka ini ibarat tiap-tiapnya menyatakan, sesungguhnya tidaklah maksud dari pada khutbah semata-mata nasehat akan tetapi kebiasaan padanya adalah ittiba’ karena meninjau keadaannya dalah ibadah dan bahwa sungguh memahami kaum baginya khutbah bahkan khatib sendiri itu tidak disyaratkan bandingannya bagaikan seorang membaca al-fatihah dalam shalat sedangkan dia tidak memahami maknanya.
Dan seandainya diterimakan pendapat yang menyatakan sesungguhnya yang dimaksudkan dengan khutbah adalah mengajar yang hakiki agar mereka mengetaui dengan kehendaki ajaran, dan keadaan khutbah dapat difahami oleh sekslian para hadirin,maka kita jawab:bahwa sungguh mengajar,keadaan khutbah dapat difahami itu sunat.sedangkan berbahasa arab adalah syarat,maka apabila ta’arut (menentang) diantara sunat dan syarat niscaya ditarjihkan syarat,maka didahulukan syarat.dan ditinggalkan sunat sebagaimana yang nampak,dhahir …….
Ini masalah sama artinya dengan masalah baca qu’ran, para ulama menyatakan disunatkan tadabbur ma’na al-qur’an ketika membacanya.maka tidak dapat difahamkan dari sunat, yang sepatutnya adalah terjemah pada makam (kedudukan)membaca al-qur’an. karena berbahasa arab disyaratkan padanya, maka apabila menentanglah diantara berbahasa arab dan tadabbur, niscaya ditarjihkan syarat dan ditinggalkan sunat, maka jangan bacakan terjemah ganti dari pada membaca al-qur’an.
Dan telah kami nyatakan komentar dalam tuhfah dan nihayah pada halaman 2,sesungguhnya firman allah swt yang bunyinya:
        
Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat(al-a’raf 204).
Itu warid pada khutbah,maka ingat-ingatlah jangan kamu lalai.kumudian disini ada satu perkara yang semestinya di peliharakan yaitu sesungguhnya berkhutbah dengan bahasa ajam bagi orang yang mampu berbahasa arab tidak diperkirakan ijma’ulama,sebagaimana yang telah kami nyatakan,baikkah melakukan itu haram atau mubah atau bid’ah mungkar,insya allah akan datanglah penjelasannya.
Maka apabila kita terima pendapat yang mengatakan sesungguhnya yang dimaksutkan dengan mengajar dalam khutbah adalah mengajar yang hakiki dan keadaannya khutbah dapat dipahami maksudnya bahwa adalah para hadirin mendengar dapat memahaminya. Maka khatib memberi nasehat dengan bahasa ajam dengan rukun-rukun khutbah dan dia mengajari dalam nasehatnya perkara-perkara atau nasehat-nasehat yang telah disebutkan, maka adalah tertunai dengan nasehat itu sunat mengajari dalam khutbah dan keadaan khutbah dapat dipahami serta sungguh sesuatu yang didatangkan dengan bahasa ajam dan memahaminya kaum nasehat tersebut itu tidak dihitungkan untuk khutbah secara ittifak ulama. Maka tiadalah faedah pada ini nasehat kecuali sia-sia semata-mata ……..dan juga seoarang pensyai’r mengatakan dalam syai’rnya :

ازا ماالمرأ ساس منه يصدق كل اوهام أتاه ويصنع ما يسر الخصم منه ويخجل منه مجنون رأه

Apabila tiadalah seseorang memelihara pikirannya dari sesuatu niscaya dia akan membenarkan tiap-tiap sangkaan yang mendatanginya dan membuat malu orang gila yang melihatnya.
Dan ada juga dari sebahagian mereka menuntut dalil boleh terjemah khutbah pada sabda nabi saw:
صلوا كما رأيتمونى أصلى (راوه البخارى)
Shalatlah kamu sebagaimana aku shalat (bukhari).

Dan dia katakan lagi adalah nabi berkhutbah dengan bahasanya maka sepantasnya bahwa kita berkhutbah dengan bahasa kita juga. Kami menjawabnya menuntut dalil seperti ini menunjukkan mesti diterjemahkan khutbah pada hal tidak seorang pun yang berpendapat yang seperti demikian dan menunjukkan juga mesti diterjemahkan al-qur’an dengan shalah…..dan kita tidak tau sampai dimana perdawaan ini akan habis dan dalam celah manapun yang kamu masuk…? Karena sungguh dalil mereka ………dan sungguh kami dengar ada sebahagian manusia mengatakan mesti terjemah zikir-zikir shalat kecuali rukunnya. Artinya sungguh kita milik allah dan sungguh kepadanya kita kembali, maka tiap-tiap demikian bercabang kepada tuntutan dalil tadi yang didakwa oleh pemimpin mereka mesti terjemah khutbah, maka pengikut-pengikutnya mendakwa kan juga mesti terjemah zikir-zikir shalah……
إزا بال أستاذ لعمرى قائما فجز مايبول الطالبون مثاة
Demi umurku apabila guru kencing sambil berdiri, maka pasti muridnya kencing sambil berdiri
Dan mudah-mudahan sya’ir……kira-kira difahamkan dari pada hadis kepada diterjemahkan zikir-zikir shalah berdasarkan dilalah tuntutan dalil mereka, maka senantiasa aku tasdiq(benarkan) sabdanya rasul saw….
يأتو نكم من الأحاديث بمالم تسمعوا انتم ولا أباؤ كم
Mereka mendatangi kamu dari hadis-hadis yang tidak pernah kamu dengar dan tidak bapak-bapak mu.
Sedemikian juga sebagian mereka lain menuntut dalil dengan hadis yang ada didalam kitab mustafa karangan iman gazali dan juga dalam kitab yang lain ,yang isi sungguhnya para shabah,dalah mereka mendatangi,memasuki negeri ajam,maka mereka para sahabat menyampainya kepada penduduknya hukum-hukum syariah yang difaedahkan dengan bahasa ajam (mustafa jld..hal..). kemudian mereka berkomentar karena memahami dari ini riwayat,maka apabila terjemah adalah terjemah tertengah tertegah niscaya tidaklah para shahabat melakukan,meterjemahkanya hukum-hukum syara;lalu kami menjawab,sesungguh permasalahan,pembahasa kita pada pada terjemah khutbah yang di syari’at kan bukan pada mengajar hukum-hukum agama dan pada bukan nesehat,dan juga perbedaan diantaranya khutbah dan hukum agama ,sya;ra sangat jauh ,perbedaanya.sebagaima dikatakan orang dalam satu syairnya yang brbunyi……
سارت مشرقة وسار مغربا شتان بين مشرق ومغرب
datanglah perempuan ketimur dan lelaki kebarat yang jauhlah berbeda diaantaranya timur dan mangrib.

Maka nyatakan dengan uraiyan diatas ,sesungguh para shahabat,adalah mereka menyampaikan hukum-hukum agama dengan bahasa ajam dan jelas pula sesungguh mereka mengatahui ,memahami bahasa ajam dan pendorong untuk dia terjemah dan juga mereka lomba untuk mengajar.dan tidaklah malas dan lain-lainnya itu menjadi penghalang bagi mereka untuk mendengar.
MAKAdimana seorang shahabat pun tidak pernah khutbah kucuali dalam bahasa arab walaupun bukan khutbah jum’at niscaya ditahukan bahwa sungguh khuthbah dengan bahasa ajam tidak boleh,dan apabila kita katakan boleh niscaya sungguh berkhutbah lah mereka dengan bahasa ajam .dan sangat berhajatlah pada hari itu kepada bien terjemahkan khutbah.maka ini pada hakikatnya adalah menjadi ajjah(alasan,bukti)untuk mereka itu.
Maka perkataan ini dan juga yang sama seperti ini itubagi mereka yang menjadi jinakan sehingga mereka untuk ucapkan satu masalah yang tidak mereka fahamin ,sebagaimana katapen syai’r dalam syirnya:………
إزا بهت الانسان فى وجه خصمه يسوق كلاما فيه مصداق هذيان.
Heranlah seorah insan pada seorang wajah lawanya niscaya dia mengiring sepatah perkataan yang benar pada hal megigau.
Kemudian ketahuilah sesungguhnya nabi SAW adalah sefashih –sefashih orang arab sebagai mana dalam sabda nabi SAWyang berbunyi:….
ان افصح العرب بيدانى من قريش


dan tiadalah kepashiha nya nabi SAW diusahakan pada kalam yang balagah(tidak bisa munulis dan membaca) sebagaimana yang sudah jelas bagi orang yang mendengar nya nabi saw. Akan tetapi yang mendidiknya adalah sang khaliq (sang pencipta) sedemikian dalam satu riwayat yang berbunyi:

أنه قال ان أخى نوحا لما ازان السقم فمسح بيده على عرباض فخرج منه السمسم فقال أبو بكر ر.ض. ماالسقم وماالعرباض وماالسمسم فقال ص.ع. السقم الذبابه والعرباض الورد والسمسم الغشمش فقال ابو بكر ر.ض. ماالذبابة والورد والغشمشم فقال ص.ع. الخ
Sesungguhnya nabi saw berkata sesungguh saudaraku adalah nuh manakala, nuh menyakiti suatu penyakit maka dia meg hapus dengan tangannya …..maka keluarlah darinya biji-bijian lalu saidina abu bakar apa itu saqmu dan arbadl dan samsam…? Maka nabi menjawabnya saqmu adalah zubab (lalat) dan arbadl adalah warad (bunga mawar) sedangkan samsam adalah gasyamsyaiah(……) lalu abu bakar bertanya lagi apa itu zubab dan warad dan gasyamsyam..? maka nabi saw juga menjawabnya zubab adalah garnab (…..) dan warad adalah khaital (….) sedangkan gasyamsyam ialah dhuyun (…..) kemudian abu bakar berkata kepada nabi saw kamu dilahirkan disisi kami dan kamu besar ditangan kami juga maka yang dari mana yang rasul mempertahankan fashahah ini…? Nabi menjawab tuhan lah yang mendidikku maka tuhan memperbagus didikannya.
Lalu turunlah jibril dan jibril berkata ya…! Ya rasul sesungguhnya allah mengucapkan salam kepada mu dan allah juga mengatakan, memberitau kepada, bicaralah kepada manusia atas kesanggupan aqal mereka. Sedemikian juga rasul memahami segala bahasa-bahasa lain pula, sebagaimana yang diisyarahkan oleh firman tuhan:
وما أرسلنا من رسول الابلسان قومه ليبين لهم (ابراهيم)

Maka manakala adalah kaumnya nabi saw sekalian manusia niscaya adalah nabi saw itu yang sanggub sekalian bahasa-bahasa mereka sebagaiman yang diurai oleh imam ahmad shawi dan lain-lainnya (ihmad shawi jld…hal…).
Dan sungguh berkatalah syaikh ibrahim ad-dusuki sesungguh para ulama bercakap-cakaplah mereka dengan tiap-tiap bahasa. Sedemikian dalam tabaqah qubra (dusuku jld…hal…) dan apabila adalah ini perkara urusan ‘arifin(…..) maka apa sangkaan kamu dengan rasul rabbu ‘alamin.
Dan sungguh datang dalam hadis bukhari dan lainnya sesungguh nya nabi saw bercakap-cakap dengan bahasa paris, maka dapat kita ambil kesimpulan adalah nabi saw mengetahui sekalian bahasa, dan sedemikian para sahabt juga mengetahui sekalia bahasa sebagaimana yang disaksikan tablig (penyampain) mereka dalam negeri ajam dengan bahasa ajam dan serta demikian tidak perna seorang pun dari kalangan mereka berkhutbah kecuali dalam bahasa arab sebagaimana yang telah kami nyatakan. Sedemikian juga para tabi’in dan orang-orang sesudah mereka dan berkelanjutanlah urusan ini sampai kepada zaman kita sekarang. Maka barang siapa yang berpaling dari urusan yang sudah jelas ini niscaya adalah dia orang bid’ah yang benci sunah yang turun temurun, maka adalah bid’ah itu sesat lagi menyesatkan dan akan datanglah uraian ini dari imam muhammad bun idris as-shafi’I dan lain-lainnya.
Dan jika orang bertanya..? apabila adalah berbahasa arab menjadi syarat dalam khutbah, maka apabila tiadalah dikalangan mereka orang yang sanggup berbahasa arab, apakah boleh mereka membaca khutbah dengan bahasa ajam ataupun mereka menunggalkan khutbah dan shalat jum’at lalu mereka shalat zuhur..? jawabannya boleh mereka membacanya dengan bahasa ajam seperti takbiratur ihram dan tasyahud. Maka para ulam sungguh menyatakan denngan terang boleh menterjemah keduanya apabila mereka tidak sanggup berbahasa arab dan sempitlah waktu belajar, maka sedemikian juga hukum khutbah.
Dan tercantum dalam kitab tuhfah karanngan ibnu hajar al-haitami, setelah syaikhuna ibnu hajar menyatakan berbahasa arab disyaratkan dalam khutbah.
نعم ان الخ
Baiklah apabila tiadalah dikalangan mereka seorang yang sanggup berbahasa arab dan tiadalah dia belajrnya bahasa arab sebelum sempit waktu niscaya berkhutbah salah seorang diantara mereka dengan bahasanya dan apabila mungkinlah belajar nya niccaya waji bagi tiap-tiap mereka belajarnya. Maka apabila lalulah masa mungkin belajarsalah seorang dikalangan mereka dan dia tidak belajar sama sekali niscaya berdausalah mereka semua dan tiadalah bagi mereka jum’at akan tetapi wajib shalatlah mereka kepada shalat zuhur (tuhfah jld 2 hal 489).
Kemudian sepatutnya bahwa kita ketahuikan sungguh pada komentarnya syaikhuna ان لم يكن فيهم من يحسنها dan katanya lagi وان أمكن تعلمها الخ itu menjadi dalil yang kongkrit dan dalil yang jelas bagi batalnya perdawaan orang yang menyangka bahwa sungguh maksud dengan kata-kata العربى pada ungkapan ulama yang berbunyi ان كان فى القوم عربى itu adalah orang yang bahasa hariannya adalah bahasa arab bukan maksud orang yang mengerti berbahasa arab, karena kalau adalah maksud para ulama sebagaimana yang didakwakan niscaya tidak mungkinlah mereka mewajibkan belajar bahasa arab bagi penduduk negeri yang tidak mengerti bahasa arab.
Maka jika orang bertanya lagi setelah menerimakan jawaban yang sesungguh berbahasa arab disyaratkan pada khutbah baikkah pada rukunnya maupun pada tawabi’ nya. Maka apakah boleh didatangkan dengan dengan bahasa ajam diantara rukun-rukun meskipun tidak dihitungkan dengannya…? Kami menjawabnya secara terperinci, jawaban yang pertama bermaksud dengana bahasa ajam adalah dia berpakaina dengana pakaian yang pasid, alasannya adalah karena khutbah ibadah dan disyaratkan berbahasa arab baik padanya maupun pada tawabi’ nya.
Dan telah lalulah uraian ambilnya dalam syarah muhazzab dan lainnya, dan dapat kita ambil kesimpulan dimna ternafi syarat dihitungkan denga nya niscaya adalah ibadah menyangkut dengan ibadah fasid, padahal berpakaian dengan ibadah fasid adalah haram secara ittifak ulama.
Dan terdapat dalam kitab fathul mu’in setelah ungkapan syaihk zainuddin al-malibari yang bunyinya
قال شيخنا الخ

Berkomentarlah syaikhuna ibnu hajar al-haitami akan tetapi sepantasnyalah demikian artinya “niat pada awal permulaan ramadhan untuk berpuasa sepenuhnya ramadhan agar dia memperoleh puasa pada hari dia lupa niat, menurut pendapat imam malik bandingannya sebagaimana disunatkan berniat pada awal pagi hari lupa agar dia memperoleh puasa pada hari itu, menurut pendapat imam abi hanifah dan sudah jelas kondisi ini apabila dia taqlid (mengikuti) dan apabila tiadalh dia berpakaian dengan ibadah pasid pada I’tiqadnya (fathul mu’in jld 2 hal 221).
Dan syaihk abdullah syarkawi mengatakan dalam kitabnya yaitu syarkawi syarah tahrir dan sayit bakri bin ali dalam kitabnya yaitu ianatuttalibin وهو حرام artinya berpakaian dengan ibadah pasid haram(syarkawi jld 1 hal 422). Maka serta keadaan imsak (menahan diri) itu wajib bagi orang yang lupa niat, haram baginya niat berpuasa dengan imsak tersebut apabila dia tidak mengikut. Orang yang mengatakan, berpendapat sah niat pada hari lupa dan dia tidak pernah memperoleh sesuu apapun selain niat.
Dan tercantum dalam mugni muhtaj karangan khatib syarbaini
وإزا صلى فى الآوقات المضى الخ
Apabila salatlah seseorang pada waktu yang dilarangkan shalat pada waktu tersebut niscaya ditakzirkan dan tidak terangkatlah shalat apabila kita kita berpendapat sesungguhnya larangan adalah makruh tahrim (makruh yang hampir kepada haram) sedemikian juga makruh tanzih (makruh yang mesti dijauhkan) berdasarkan pada pendapat yang kuat, maka apabila orang mengatakan melajimi dari tidak terangkat oleh bahwa sungguh makruh adalah bagi tahrim, alasannya karena mendahulukan bagi ibadah yang tidak terangkat haram secara ittifak ulama karena keadaanya ibadah main-main. Dijawabkan sesungguhnya tidak melajimi, mesti …berpendapat bagi tidak terang kat untuk berpendapat bagi makruh tahrim (mugni muhtaj jld …hal…).
Maka nyatalah sesungguh berpakaian dengan ibadah yang pasid itu adalah haram menurut ittifak ulama. Dan jawaban yang kedua apabila dia tidak memaksudkan dengan bahasa ajam keadaannya sebahagian dari hukum khutbah akan tetapi hannya bicara semata-mata itu juga haram, apabila kita berpendapat haram berbicara dalam khutbah, ini adalah salah satu pendapat dari tariq khilaf pada menyatakan haram bagi khatib berbicara dalam khutbah.
Maka imam rafi’i mengatakan dalam kitabnya yang dinamai dengan syarah kabir.
وهل يحرم الكلام على الخطيب الخ
Dan adakah haram bagi khatib berbicara…? Maka pada masalah ini ada dua tariq, menurut pendapat dari tariq kata’ (satu jalur) tidak haram (syarah kabir jld …hal…).
Dan imam nawawi mengatakan dalam syarah muhazzab satu pendapat yang telah ditarjih:
وفى تحرم على الخطيب الخ
Pada mengatakan berbicara khatib ada dua tariq, salah satu tariq ada dua pendapat, dan tariq yang kedua adalah pendapat sahih, dan tariq yang kedua ini telah ditarjih oleh mayoritas ulama disunatkan dan tidak diharamkan karena banyak hadis-hadis sahih sesungguhnya rasul saw berbicara dalam khutbah dan yang terlebih baik bahwa dijawabkan untuk demikian sungguh bicara nabi saw itu karena hajat (syarah muhazzab jld…hal…).
Maka yang dimaksudkan pada ungkapan iman nawahi ……adalah disunatkan tinggal berbicara,sedemikianlah yang dibahas oleh ulama dan yang dimaksudkandengan ungkapanya iman nawawi …….adalah orang yang berpendapat haram .dan jika kita berpijak,berpendapat bagi tariq lain yaitu tarik kata’adalah unubah apabila ada disana itu maksud yang penting lagi tembus seperti memberi ingatorang lalai dari seumpama kalajengking dan lainnya.
Dan tertulis dalam kitab Al-lum sepatah kata iman as-syafirAV yang bumyimya …………………….
Artinya dan tidak mengapa bahwa berbicaralah seorang dalam khutbahjum’at dan tiap-tiap khutbah pada sesuatu yang telah maksud.dan orang lain memasukkan dengan kalam nas(percakapan manusia)(Alum jilid…hal…)
Maka iman syafi’ememasudkan pada katanya …………..adalah kalam,ungkapan yang ada maksud penting lagi tembus.sebagai mana yang ditunjuki oleh komentar iman nawahi dalam syara muhazzab,dan tulisan perkataanya sebagai berikut…………
Artinya berkomentarlah ashabuna (murid iman syafi’e)dan ini khilaf artinya khilaf haram berbicara pada ketika khutbah pada hak kaum dan iman adalah pada perkataan yang tidak menyangkut dengan maksud yang pentinglagi tembus,oleh karena demikian,maka apabila dia melihat seorang buta yang akan jatuh kesumur atau seekor kala jengking dan seumpamanya, yang mereayap kepada insan yang lalai maka memeberi peringatan ia atau untuk mengajak manusia kebaikan ataupun untuk melarangnya insan dari kemugkaran, maka ini tidak haram secara ittifak ulama, imam syafi’i yang menyatakan demikian dan sekongkollah ashabnya untuk menyatakannya, akan tetapi mereka berkometar disunatkan bahwa dipadai dengan isyarah apabila hasillah maksud dengannya (syarah muhazzab jld…hal…).
Maka ungkapannya imam nawawi نص عليه الشافع الخ itu menjadi saksi mata, bukti kebenaran penjelasan kami. Maka apabila tiada maksud seperti tadi dan tiada maksud keadaan nya dari khutbah akan tetapi keadaannya laga (sia-sia) semua, niscaya adalah demikian bid’ah mungkin lagi bersalahan bagi sunnah yang telah dikerjakan oleh ulama salaf dan ulama khalaf, sebagaimana yang telah kami jelaskan terlebih dahulu.
Dan …….berkata dalam al-um satu pendapat imam syafi’i
ولا احب ان يتكلم فيما لايعنيه الخ
Dan aku tidak mencintai bahwa berbicara sesuatu yang tidak penting baginya, dan tidak penting bagi manusia dan juga dengan perkataan yang jelek (al-um jld…hal…).
Dan terdapat dalam syarah muhazzab satu tulisan imam nawawi
قال الشافعى والآصحاب ويستحب الخ
Berkomentarlah imam syafi’i dan ashabnya dan disunatkan bahwa sepantasnya khatib tidak berbicara hingga selesai dua rukun al-khutbah (syarah muhazzab jld…hal…)lebih-lebih lagi adalah berbicara itu adalah laga semata-mata, maka memadalah bagi orang yang berakal terasa dalam.
Dan imam nawawi berkata dalam syarah muslim هو الكلام الملغى الخ (laga itu adala perkataan salah, kurang baik lagi ditolakkan. Syarah muslim jld…hal…). Dan apabila adalah makna lag sedemikian maka bagaiman orang berakal……..padahal allah pernah berfirman dalam satu ayat yang bunyinya
               
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.
Lebih-lebih lagi setelah azan salat jum’at dan allah swt sungguh berfirman :
                      
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.
Dan berdasarkan atas tiap-tiap takdir apabila lamalah diselangi dengan bahasa ajam batallah khutbah, sebagaimana yang dinyatakan oleh syaikhunaar-ramli dan ibnu qasim dan lain-lain keduanya. Dan adapun penyelidikan ali syibri amlasi itu sudah nyatalah jawabannya, maka jangan kamu lalai dan apabila tidak lama diselangi maka tidak batallah khutbah berdasarkan atas tiap-tiap takdir yang telah disebutkan.
Maka tertulis dalam kitab al-um satu kata imam syafi’i
قال الشافعى وكل ما اجرى ان الخ
Berkatalah imam syafii setiap perkataan yang aku maksud dengannya atau yang aku benci dengannya maka rusaklah khutbah dan salatnya.
Dan tertera dalam syarah muhazzab kata imam syafii
قال الشافعى والاصحاب الخ
Imam syafii dan ashabnya mengatakan dimana kita haramkan berbicara maka berbicara ia niscaya berdausa dan tidak batallah jum’at menurut ittifak ulama (syarah muhazzab jld…hal…).
Kemudian sesungguh syaikh shihabuddin saliati berkomentar dalam fatwanya yang disusun pada tahun 1356 hijriah (….masehi) artinya sesungguh membaca terjemah khutbah, baikkah serta bahasa arab maupun tidak itu bid’ah yang benci bagi sunnah yang turun temurun dari ulama salaf dan ulama khalaf, maka bid’ah itu dikatakan dengan bid’ah sai ah (buruk)yang wajiblah menjauhkannya dan berdasarkan sipelakunya maka sunguh berkatalah imam syafii masalah yang diada-adakan ada dua pembahagian:
1. sesuatu yang diada-adakan berbeda bagi yang telah ada dalam kitab (ayat) atau sunnah, asar (hadis) atau ijma’ (konsesus ulama) ini dinamakan dengan bid’ah yang sesat lagi menyesatkan.
2. sesuatu yang diadakan pada kebaikan tidak berbeda padanya bagi yang telah ada dalam ayat atau sunnah dan seterusnya, maka ini dikatakan dengan bid’ah yang tidak dicelakan dan ini sungguh diambil dari imam syafii oleh mayoritas ulama, seperti boyhaqi dan I’zuddin bin ‘abdi salam dan imam nawawi dan taybi muhammad dan lain-lain mereka. Dan berkatalah imam abu hamid al-gazali hanyasanya yang harus diwaspadai mengerjakan bid’ah yang benci bagi sunnah yang turun temurun (fatawa jld…hal…).

Dan terdapat dalam kitab zubdah tahqiqat. Setelah …..bagi wajib baca khutbah dengan bahasa arab……satu tulisannya maka apabila sebut nyatalah bahwa sungguh membaca khutbah dengan bahasa arab …..wajib, dimakruhkan membacanya bukan dengan bahasa arab atau membaca dengan bahasa arab serta menterjemehkannya dengan bahasa ajam akan sebagai makruh tahrim, maka mengifta hukum sesungguh membaca khutbah dengan bahasa ajam boleh tanpa makruh, baikkah makruh tanzih ataupun makruh tahrim karena menuntut dalil dengan pendapat yang ada dalam kitab fatwa sarajiyah jld…hal… yang bunyinya (dan apabila dikhutbahkan dengan bahasa faris boleh hingga akhir). Itu batal, alasannya karena yang dimaksud dengan jawaz (boleh) dalam fatwa sariyah adalah sah dan tidak menafikan makruh.
Dan berkomentarlah syahk muhammad amin bin ‘abidin dalam kitab raddul mukhtar jld…hal… yang bunyinya dan yang jelas sesungguhsah menurut……itu tidak menafikan makruh. Dan berkatalah …..dalam hsyiah syarah wiqayah yang dinamai dengan umdah riayah dan tidak disyaratkan keadaan khutbah dengan bahasa arab, maka apabila dikhutbahkan dengan bahasa paris atau lainnya boleh sedemikianlah komentar mereka والمراد الخ artinya dan yang dimaksudkan disini adalah boleh pada hak sah, maksudnya memada rukun tunai syarat dan sahlah shalat dengannya, bukan maksud boleh secara mutlak karena tidak ragu lagi sesungguh berkhutbah dengan bahasa ajam itu sebalik yang sunnah ……dari nabi saw dan para sahabatnya. Maka adalah demkian makruh (hasyiah umdah niayah jld ..hal…).
Maka berkekalan mengerjakan makruh tahrim dapat menjatuhkan keadilan dan sungguh diambilkan dalam kitab raddul mukhtar jld….hal…dari zainul ‘abidin bin najim (sesungguh tiap-tiap makruh tahrim adalah dausa kecil dan jatuhlah keadilan dengan sebab berkekalan dengannya). Maka kapan-kapan jatuhlah keadilan pada khatib yang berkekalan terjemah niscaya adalah pasik, maka makruhlah shalat berkekalan dibelakangnya (zubdah tahqiqah jld…hal…).
Maka katanya ……ولا يشترط كونها الخ dapat dipahamkan sesunguh khutbah dengan bahasa ajam adalah makruh tahrim meskipun pada pendapat tidak mensyaratkan bahasa arab pada khutbah akan tetapi sahlah khutbah berdasarkan pendapat tidak mensyaratkan bahasa arab dan tidak sah berdasarkan pendapat yang mensyaratkannya. Dan di……sesungguh tidak mensyaratkan berbahasa arab itu menunjukkan boleh, alasannya karena sesungguh salat dan sah pada khutbah adalah hukum whad’i (…) dan sedangkan ibahah (boleh) dan haram pada khutbah adalah hukum taklifi (…..) maka tidak dikehendaki oleh salah satunya bagi yang lain.
Adakah tidak kamu lihat…? Apabila salatlah seseorang insan dengan pakaian rampasan niscaya sahlah salatnya, karena tidaklah sebahagian dari syarat-syarat salat keadaan satir (tutupan) bukan rampasan, akan tetapi munutup aurat adalah wajib yang maksiatlah merusakkannya sebaliknya apabila salatlah ia dengan pakaian yang mutanajis (yang tersentuh najis) dan tidak mengetahuinya maka salatnya itu fasid (rusak) akan tetapi ia tidak berdausa dengan sebab demikian karena keadaannya ma’zural (dimaafkan) dan adapun apabila dia mengetahui bernajis pakaian maka haram karena bertalabus (berkekalan) dengan ibadah pasik.
Dan shihab syaliati semoga Allah melimpahkkan rahmat kepadanya berkomentar dalam kitab fatwanya yang diurai pada tahun 1356 hijrah setelah satu ungkapan,satu pendapat yang telah dia haskan:maka apabila kamu pahamkan ini niscaya kamu fahamkan juga sesungguh tidak mensyarat berbahasa arabpada selain rukun-rukun khutbah untuk memadan dan dihitung denganya itu tidak mengkerudaki daki,meunjukan boleh terjemah pada selain rukun-rukun (tawabi)karena berdasarkan uraiyan tadi,karena terjemah itu sebalik sunnah …….dan cara,metode yang……..maka memada sesuatu dan dihitungkan dengannya disatu segi itu tidak menujukan atas boleh mengerjakannya,dan tidak berdoasa sipelakunya disegala segi.
Apakah yang kamu lihat sesung nereka itu ulama tidak nensyarad pada wudhuk’keadaan air bukan rampasan,serta mereka menghitung,mingirakan wudhu yang hasil dari air merekan rampasan dan merekan memadangi shalah dengan wudhu tersebut………..gugurlah tuntutan dari padanya apabila shalat denganya padahal berwudhuk dengan air tarsebut tak boleh,maka fahamkanlah ……..!(fatawa…jld….hal)
Maka katanya……….dalam zubdah tah qiqat فتكره الصلاة الخ maksudnya,makruh shalat dibelakang ini fisik yang berkekelan menterjemahkan khutbah,dan syeh …..mengungkapkan dalam fat’ul mu’in dan matannya وكره اقتداء الخ dimakruhkan mengikut dengan orang fasik dan mubtadi’ seperti orang raidhi (….) walaupun tidak diperdapat seorang lain untuk imam selain ketuanya…..dan orang bilang tidak sahlah mengikut dengan ketuanya (fathul mui’in jld…hal 47).
Dalam hasyiah tuhfah syarwaini diambil dari bujairimi satu pendapat barmawi
ويحرم على اهل الخ
Dan haramlah atas ahli shalih dan ahli baik salat dibelakang orang fasik dan orang mubtadi’ dan lain-lain yang sama dengan keduanya….(syarwani jld…hal…).
Semoga allah memberi taufiq kepada kita untuk mengikut dengan imam-imam yang terpetunjuk dan ….kita bagi mengikut orang-orang fasik dan orang-orang mubtadi’ dan inilah akhir bats yang dineri kemudahan oleh allah atas hambanya yang fakir abi muhammad al-wailasuri semoga allah mengamppuninya dan semoga allah melimpahkan karunianya kepada sebaik-baik hambanya yaitu pengikut nabi muhammad saw dan keluarga dan para sahabatnya sekalian, maha sucilah allah ………dan kesejahteraan atas para rasulnya dan segala puji bagi allah yaitu tuhan sekalian alam.


The end

Pengertian Khutbah
Khutbah pada lughah adalah pidato, ceramah nasehat, sedangkan khutbah menurut syara’ ialah suatu kalam yang dimulai dengan memuji Allah dan salawat kepada nabi Muhammad s.a.w. kemudian disudahi wasiat dan doa.
Syarat-syarat khutbah:
Bahasa Arab
Dalilnya :
1. Al-quran surat An-Nisaa ayat 115.
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدي ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولي ونصله جهنم وساءت مصيرا.
Artinya :
“Dan barang siapa yang menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan mereka leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.

Pada kenyataannya سبيل المؤمنين (jalan orang-orang mukmin) dari Barat sampai Timur baik dalam negeri Arab atau ajam berkhutbah Bahasa Arab sebagaimana yang difahami dari penalaran illat para ulama “disyaratkan Arabiah karena mengikuti ulama salaf dan khalaf “ . Menurut sejarah, ulama salaf dan khalaf (shahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in) tidak pernah berkhutbah dalam Bahasa ajam, yaitu tidak menterjemahkannya, baik pada rukun-rukun khutbah maupun tawabi’(ceramah diantara rukun-rukun khutbah), padahal pada saat itu terjemahan sangat dibutuhkan dalam khutbah karena Islam baru masuk kewilayah ajam dan meraka mampu berbahasa dengan Bahasa ajam akan tetapi mereka tidak menterjemahkannya dalam Bahasa-bahasa yang lain,

Hal-hal yang pernah diriwayatkan dalam sejarah dari ulama salaf dan khalaf tentang khutbah ialah :
1. pada ketika Umar Bin Khattab R.A..berkhutbah tiba-tiba beliau berkata “wahai pasukan naiklah ke bukit”. Tercenganglah para jamaah dalam mesjid, ternyata Umar sedang memimpin pasukannya yang diutus ke Niahanda yang lagi kocar kacir.
2. pada suatu hari Umar bin Khattab berkhutbah, ada seorang laki-laki dari kaum muhajirin yang datang terlambat kemudian Umar menugurnya “jam berapa sekarang”.
3. Abdurrahman ibnu Umm Al-hukm berkhutbah sambil duduk sehinga ditegur oleh para hadirin.
4. Marwan ibnu Hukm pernah bekhutbah hari Raya sebelum sembahyang sehunga diingkarnya.
5. Usman ban Affan R.A. menida dalam hari jumat pada ketika banyak jamaah dan tidak diingkarkan.
Dan masih banyak hal-hal yang pernah diriwayatkan dari ulama salaf dan khalaf baik masalah khutbah atau selainnya yang riwayatnya saheh-saheh, tetapi tidak satu pun riwayat yang menceritakan khutbah dalam bahasa ‘ajam.
Dari ayat diatas menunjukkan bahwa berkhutbah dalam bahasa Arab hukumnya adalah wajib karena demikian merupan suatu perbuatan yang dikerjakan ulama salaf dan khalaf secara terus menerus dan meraka tidak pernah menterjemahkan dalam bahasa lain.

2. Hadits
صلوا كما رأيتمونى أصلي

Artinya:
“sembahyanglah kamu seperti yang kamu lihat aku bersembahyang”.
Pada hadits di atas memang tidak disiggung secara jelas tentang khutbah akan tetapi kita dapat memahami melalui kaidah-kaidah yang dijelaskan dalam ushul fiqh yaitu :
ان الأمر بالشئ امر بجميع ما يتوقف عليه ذلك الشئ
Artinya :
”diperintah sesuatu berarti diperintahkan segala yang menyangkut nya dari segala syarat dan sebab”.
As-Subky berkata dalam kitabnya Jamul jawami’yaitu:
(المقدور الذي لايتم الواجب الا به واجب) بوجوب الواجب سببا كان او شرطا (وفاقا للاكثر).
Artinya:
”sesuatu yang menyempurnakan wajib maka wajib pula adakala syarar atau sebab”.
Dari penalaran kaidah tersebut dapat difahami bahwa suatu ibadah yang diperintahkan berarti diperintahkan syarat-syarat dan sebab pula. Jadi, bila ibadah itu wajib dikerjakan maka mengerjakan syarat dan rukun-rukunnya wajib pula. Oleh sebab itu hadits diatas yang menujukkan wajib sembahyang maka wajib pula mengerjakan syarat-syarat dan sebab-sebabnya seperti wudhuk, menutup aurat, menghadap kiblat, demikian pula khutbah pada shalat jum’at. maka, perintah Nabi s.a.w melaksanakan sembahyang seperti yang beliau kerjakan, maka diperintahkan juga berkhutbah seperti beliau yaitu menggunakan Bahasa Arab karena ittiba’.

Dalil Kias
Khutbah merupakan zikir yang difardhukan sama seperti tasyahut dan takbiratul Ihram . khutbah dinamakan dengan Quran seperti yang tersebut dalam Surat al- ‘araf ayat ….
واذا قرئ القران فاستمعوا له وانصتوا لعلكم ترحمون
Ibnu Hajar Haitamy dan Muhammad Ramli berpendapat : menurut kebanyakan pentafsir, ayat tersebut warid pada khutbah
Khutbah juga dinamakan dengan zikir seperti yang terdapat dalam surat jum’at ayat 9 :
يأيهاالذين امنوا اذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعواالى ذكر الله وذروا البيع ذلكم خير لكم ان كنتم تعلمون.
Artinya :
“Hai orang- orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan salat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada khutbah dan sembahyang dan tinggalkanlah jual beli”.
Pendapat Abu Su’ud maksud dari فاسعواالى ذكر الله adalah berjalanlah untuk khutbah dan shalat.. Imam Ar-Razy berkata maksud Zikrillah dalam Ayat ialah khutbah.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah rasulullah s.a.w.
من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنبة ثم راح فكأنم قرب بدنة ومن راح فىالساعة الثانية فكأنم قرب بقرة ومن راح فى الساعة الثالثة فكأنم قرب كبشا اقرن ومن راح فى الساعة الرابعة فكأما قرب دجاجة ومن راح فى الساعة الخامسة فكأنم قرب بيضة فاذا خرج الإمام حضرت الملئكة يستمعون الذكر.
Qalyuby berpendapat maksud zikir dalam hadits diatas adalah khutbah..
Dari beberapa ayat dan hadits di atas dapat difahami bahwa khutbah dinamakan zikir, maka tidak diragukan lagi tentang pengkiasan khutbah kepada tasyahud dan takbiratul Ihram karena keduanya merupakan zikir yang difardhukan. oleh sebab itu jika Tasyahut dan Takbiratul Ihram wajib dengan menggunakan bahasa Arab yaitu tidak boleh menterjemahkannya begitu juga dengan khutbah, wajib pula menggunakan Bahasa Arab dan tidak boleh menterjemakan dalam Bahasa yang lain.
Disamping itu Khutbah bisa juga diqiaskan kepada azan dari segi ibadat yang perlu menyebut nama Allah dan Rasul, hal ini terfaham dari alasan yang disebutkan oleh beberapa ulama seperti Imam An-Nawawi dalam Syarah Muhazzab, Ibnu Hajar Haitamy dalam Tuhfah, dan Muhammad Ramli dalam Nihayah, mereka berkata : “wajiblah membaca salawat dalam khutbah alasannya, khutbah merupakan Ibadah yang perlu menyebutkan nama Allah maka diperlukan pula menyebut nama rasulnya sama seperti azan dan salat.
Khatib Syarbaini dalam kitabnya Al-Mughni mengatakan :
واركنهما خمسة الأول حمد الله للإتباع والثانى الصلاة على رسول الله صلىالله عليه وسلم.لإنها عبادة افتقر الى ذكر الله فافتقرت الى رسول الله صلى الله عليه وسلم كالأذان والصلاة
Ibnu Kasir berkata dalam tafsirnya :
لا تصح الخطبتان الا بذلك ,, اى الصلاة على النبي صلىالله عليه وسلم ,,. لإنها عبادة افتقر الى ذكر الله فافتقرت الى رسول الله صلى الله عليه وسلم كالأذان والصلاة.

Dari beberapa teks yang disebutkan ulama di atas tadi dapat disimpulkan bahwa khutbah merupakan suatu Ibadah yang perlu menyebutkan nama Allah dan Rasul seperti azan dan salat, jikalau azan yang tujuannya untuk memberitau masuknya waktu salat tidak bisa diterjemahkan dalam bahasa yang lain (Bahasa ajam) sekalipun orang tidak mengetahui isinya, demikian pula tentang khutbah yaitu tidak boleh menterjemahkan pula, sekalipun banyak orang yang tidak mengerti.
Debatan Pada Qias
1.tidak boleh mengqiaskan khutbah kepada zikir-zikir sembahyang karena zikir-zikir sembahyang mu’ayyin lafadh (lafadhnya tertentu) berbeda khutbah.
2.khutbah tujuannya adalah untuk khitab manusia sedangkan sembahyang untuk khitab Allah S.W.T.
3.sembahyang harus menghadap qiblat sedangkan khutbah membelakangi qiblat.
jawaban.
1.tentang mu’ayyan atau tidak mu’ayyan itu tidak ada beda, karena pada sembahyang ada yang mu’ayyan lafadh seperti fatihah, tasyahud, dan takbiratul ihram dan ada pula yang tidak mu’ayyan lafadh seperti zikir-zikir pada ruku’, sujud dan sesudah tasyahhud, bergitu juga khutbah ada yang mu’ayyan lafadh seperti puji dan selawat, dan ada pula yang tidak mu’ayyan seperti wasiat takwa.
2.perbedaan yang kedua tidak bisa mempengaruhi qias karena para ulama telah sepakat khutbah adalah zikir yang difadhukan seperti tasyahud dan takbiratul ihram maka disyaratkan bahasa arab. Disamping itu dalam sembahyang juga ada khitab kepada hadhirin seperti salam maka tidak ada perbedaan antara khutbah dan sembahyang. Seandainya tidak boleh mengqiaskan kepada sembahyang karena adanya perbedaan disegi khitab bagi Allah dan hadhirin maka mengqiaskan pada azan tidak didapati perbedaan tersebut karena tujuan azan adalah untuk memberitau manusia masuknya waktu tetapi disyaratkan juga Bahasa Arab.
3.diperintahkan membelakangi qiblat tidak mempengarui khutbah suatu ibadah yang mesti dilakukan deengan Bahasa Arab karena karena menghadap, membelakangi adalah suatu perentah yang lain bahkan adajuga yang diperintahkan menjadikan ka’bah disebelah kiri seperti Tawaf dan pada salat sunnat diatas kenderaan dibolehkan membelakangi qiblat.maka semua contoh-contoh diatas tetap merupakan ibadah walaupun tidak menghadap qiblat.

3. Teks-teks (Ibarat-Ibarat ) para ulama.
Imam An-Nawawi berkata dalam Majmu’ Syarah muhazzab :
فرع. هل يشترط كون الخطبة بالعربية فيه طرقان اصحهما وبه قطع الجمهور يشترط لأنه ذكر مفروض فشرط فيه العربية كالتشهد وتكبيرة الإحرم مع قوله صلى الله عليه وسلم صلوا كما رأيتمونى أصلي وكان يخطب بالعربية.والثاني فيه وجهان حكاهما جماعة منهم المتولي احداهما هذا والثاني مستحب,ولا يشترط لأن المقصود الوعظ وهو حاصل بكل اللغات.
Teks dalam Rauzah
هل يشترط كون الخطبة كلها بالعربية وجهان الصحيح اشتراطه اهـ
Imam Ar-Rafi’I berkata dalam Syarah Kabir yang dinamakan Fathul “Aziz matan Wajid Imam Al-Ghazali :
(واركنها خمسة الحمد الله ويتعين هذا اللفظ والصلاة على رسول الله صلىالله عليه وسلم ويتعين لفظ الصلاة والوصية بالتقوى ولا يتعين لفظها اذ غرضه الوعظ واقلها اطيعوا الله والدعاء للمؤمنين واقله رحمكم الله وقراءة القران واقله اية ) ولك ان تبحث فى شئين من قوله ويتعين هذا اللفظ وقوله ويتعين لفظ الصلاة احدهما ان الحكم يتعين اللفظين يقتضي عدم اجزاءهما بغير العربية فهل هو كذلك والجوب ان فى اشتراط كون الخطبة كلها بالعربية وجهان اصحهما انه شرط اتباعا لما جرى عليه الناس والثانى ذكره فى التتمة مع الأول انه لا يشترط اعتبارا بالمعنى.
Imam Jalaluddin Al-Mahalli berkata dalam kitabnya Al- Mahalli beserta matan Minhaj Imam An-Nawawi :
(يشترط كونها) كلها (عربية) كما جري عليه الناس.
Lafadh كلها yang terdapat dalam beberapa teks di atas telah jelas tentang syarat berkhutbah Bahasa Arab baik pada segala rukun atau tawabi’ yaitu nasehat dalam celah-celah khutbah.
Debatan
Qalyuby berpendapat dhamir كلها dalam Ibarat Syarah Mahalli kembali kepada rukun-rukun khutbah, beliau sependapat Syeikh Islam Zakaria Al-Anshary ,beliau berkata dalam kitabnya Minhaju At Tullab beserta Syarahnya:
(ويشترط كونهما عربيتين) اى والمراد اركنهما لإتباع السلف والخلف.
“disyaratkkan Bahasa Arab hanya pada rukun-rukan khutbah, tidak pada tawabi’.
Jawaban
Mudah-mudahan maksud Syaikh Zakaria Al-Anshary disyaratkan Bahasa Arab hanya pada segala rukun khutbah tidak pada tawaabi’(ceramah dalam celah-celah khutbah) adalah untuk sah khutbah, maka ibarat Syeikh menujuki bahwa Bahasa Arab yang bukan rukun yaitu pada tawabi’ tidak menjadi syarat sahnya khutbah, begitu juga tentang mendatangkannya Tawabi’ tidak menjadi syarat pula, hal tersebut berdasarkan Kaidah
النفي اذا توجه الى المقيد بقيد يصدق بانتفاء القيد والمقيد جميعا وبانتفاء المقيد فقظ وبانتفاء القيد فقط.
Artinya :
“nafi jika datang pada pada muqayyad terbenar nafi mukayyad dan kayed, nafi hanya pada mukayyad, atau hanya pada kayed.
Maka maksud seikh Zakaria Al-Anshary “bahasa Arab pada selain rukun-rukun khutbah yaitu pada tawabi’, tidak mejadi syarat sahnya khutbah”, terbenar surah-surah mantuq ( teks ) yaitu:
1) Bahasa yang bukan Arab (ajam) pada selain rukun (tawabi’) bukan syarat sahnya khutbah (nafi kayed dan mukayyad)
2) Bahasa yang bukan Arab (ajam) pada rukun khutbah bukan syarat sahnya khutbah (nafi hanya pada mukayyad)
3) Bahasa Arab pada yang bukan rukun (tawabi’)bukan syarat sahnya khutbah pula (nafi hanya pada kayet)
Dari pengertian teks yang ketiga dapat difahamkan bahwa “arabiah pada tawabi’ bukan syarat sahnya khutbah “ maka terbenar surah boleh mendatangkan tawabi’ yang bukan Arabiah dan boleh tidak mendatangkan tawabi’ sama sekali hanya mendatangkan rukun-rukun khutbah.seperti “menafikan kiam(berdiri) bagi sipolan terbenar surah wujud sipolan tampa kiam terbrenar tampa wujud sipolan sama sekali.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendapat Syaikh Zakaria Al-Anshary disyaratkan Bahasa Arab hanya padda rukun-rukun saja tidak pada tawabi’adalah syarat sahnya khutbah, Maka tidak menentang pendapat Syaikh Zakaria Al-Anshary pendapat syaikhen(nawawi dan rafi’i) dan jalaluddin Al- Mahalli dalam teksnya tentang mensyaratkan bahasa Arab pada rukun –rukun dan tawabi’ karena mereka mensyaratkan pada tawaabi’adalah untuk menghasilkan pahala tawabi’dan untuk memperdapatkan pahala sunat, karena mendatangkan tawabi’ hukumnya adalah sunat.
Ibnu Qasem dalam kitab Syarwani menetapkan, jika mendatangkan nasehat dalam celah –celah rukun khutbah selain Bahasa Arab maka dibolehkan asalkan jangan berselang waktu yang lama seperti diam, dan jika berselang waktu yang lama maka khutbah tersebut tidak sah. Pendapat ini sama seperti yang diutarakan Muhammad Ramli. Dari pendapat Ibnu Qasem tersebut menunjukkan bahwa bahasa ajam tidak dianjurkan dalam khutbah alasannya, bisa membatalkan khutbah bila diselangi waktu yang lama, hal ini sangat berbeda bahasa Arab yang tidak mengakibatkan batalnya khutbah walaupun lama.

Debatan
Pendapat ع ش sesudah menakalkan ibarat سم . والقياس عدم الضرارمطلق artinya : “bahasa ajam tidak mengakibatkan batalnya khutbah biarpun lama waktunya” , beliau membedakan dengan diam (sukut) yang mengakibatkan batalnya khutbah jika lama waktunya karena sukut berpaling dari khutbah bil kulliya yaitu tidak dinamakan dengan khutbah sedangkan Bahasa ajam mengandung wa’zu jumlatan. Maka pendapat ع ش menunjukkan tentang dihitungkangkan Bahasa ajam dalam celah-celah khutbah sekalipun beselang waktu lama.

Jawab
Pedapat ع ش harus kita hamal karena sangat menentang dengan ulama-ulama mu’tabar seperti syeikhen, jalaluddin al- Mahalli, muhammad ramli, Ibnu Qasem dan lain-lain, maka ع ش bukan memfatwa sebalik fatwa mereka akan tetapi, ع ش hanya menjelaskan hukum yang mengakibatkan batal khutbah bila lama berselang Bahasa Ajam, bukan dengan mengkiaskan kepada diam (sukut) karena diantara keduanya ada perbedaan. Jadi ,الواو pada kata-kata والقياس adalah bagi haliyah.maka pendapat ع ش bersebrangan hanya pada qias bukan pada hukum. Dan seandainya ع ش berseberangan syaikhen pada hukum maka pendapatnya tidak bisa kita toleril. Berkata Zainuddin al-Malibary dalam kitab I’anatut at-thalibaan pada bab qadha’: pendapat yang kuat dalam mazhab untuk hukum dan fatwa adalah pendapat yang sepakat antara imam Ar-Rafi’i dan imam An-Nawawi, kemudian imam An-Nawawi, dan imam Ar-Rafi’i, kemudian yang ditarjehkan akstarin (kebanyakan ulama), kemudian yang lebih mendalam ilmunya dan yang terakhir adalah yang lebih war’a (terpelihara), ketetapan ini yang diamalkan oleh ulama-ulama muhaqqiq mutaakhirin. Imam As-Samhudy mengungkapkan : “guru-guru kami selalu mewasiatkan agar memfatwa pendapat syeikhen serta meniggalkan pendapat- pendapat yang berseberangan dengan keduanya, hal yang sama juga diutarakan syeikhuna Ibnu Ziyad yaitu kewajiban berfatwa pendapat syeikhan sekalipun berbeda aktsarin.
Dari beberapa ketetapan ulama diatas maka dapat diketahui bahwa kita harus berfatwa pendapat syeikhen, maka tidak mungkin ع ش berfatwa dengan selain pendapat syeikhen.Oleh sebab itu Maka Ibarat ع ش lebih baik kita hamal ketimbang tidak ditoleril.
Kaidah.
الحمل كلام المخاطب اولي من الغائه
Artinya: ” mempertanggungkan perkataan seseorang lebih baik dari pada membatalkannya ( tidak ditoleril).

Debatan yang lain
Arti khutbah adalah nasehat ( wa’zu ) maka bagaimana disyaratkan Bahasa Arab bagi orang yang tidak memahaminya.
Jawab
Khutbah menurut syara’ adalah suatu kalam yang dimulai memuji Allah dan selawat kepada rasul Allah S.A.W. kemudian disudahi wasiat dan doa, bukan artinya wa’zu, hal ini dapat difahami dari Ibarat Ibnu Qasem dalam kitab Asy-Syarwany:
(قوله ولا خطبة له) اى ولا لجماعة النساء الا ان يخطب لهن ذكر فلو قامت واحد منهن ووعظتهن فلا بأس.
Khutbah tidak diperdapatkan pada wanita tetapi hanya wa’zu maka dapat difahamkan khutbah bukanlah wa’zu, jadi nisbah lafadh “wa’zu dan khutbah adalah tabayyun ( berbeda ) bukan termasuk lafadh muradif ( sama ), karana lafadh muradif nafi salah satu memngakaibatkan nafi yang lain seperti insan dan basyar, bila pada suatu zat tidak diperdapatkan insan maka tidak diperdapatkan pula basyar.
Secara bahasa memang benar ada khutbah yang artinya wa,zu, seperti sembahyang menurut bahasa artinya doa kebaikan, puasa artinya imsak, haji artinya kasad, zakat artinya bertambah-tambah, suci. Maka arti dari contoh-contoh di atas bukan maksud syara’, jadi kita tidak boleh hanya berdoa menggantikan sembahyang, kasad menggantikan haji, akan tetapi kita harus melaksanakan segala rukun-rukun dan syarat-syarat sembahyang dan haji, begitu juga khutbah tidak memada wa’zu akan tetapi harus menyempurnakan syarat dan rukun-rukunnya antara lain harus bahasa arab.
Debatan
Pendapat para ulama: khatib sunat mengajarkan hukum-hukum zakat fitrah dalam khutbah hari Raya Idul Fitri dan hukum-hukum berkurban dalam khutbah hari Raya Idul Adha. Yang dipertanyakan bagaimana munkin mengajarkannya Bahasa Arab bagi orang-orang yang tidak mengerti bahasa Arab, maka pasti mereka tidak bisa mengamalkannya.
Jawab
Seagaimana diperintahkan khatib untuk mengajarkan begitu juga diperintahkan orang jahil untuk menuntut ilmu, seperti sabda rasul Allah S.A.W.
طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمات ( رواه ابن عبد البرعن انس )
artinya : “ tuntut ilmu wajib terhadap setiap orang islam baik yang laki-laki maupun perempuan “.
Nah pada ketika banyak sekali syariat kita dalam bentuk bahasa Arab maka wajib terhadap manusia belajarnya sekadar yang dibutuhkan, jika seandainnya para hadirin yang hadir dalam khutbah tidak mengerti Bahasa arab maka kesalahan bukan dipihak khatib akan tetapi dipihaknya, maka khatib tetap tidak dibolehkan menterjemahkannya.
Seperti yang tertera dalam satu syair
لا تنحتن قدميك لولم تدخلا فى النعل بل ابدل شراكا اطولا
Artinya : ” jangan kamu potong dua kaki karena sempit sepatu yang kamu pakai akan tetapi carilah sepatu lain yang kamu bisa memakainya.

Jawaban yang kedua
Maksud para ulama ”mengajarkan hukum-hukum tersebut “ adalah bukan haqiqi seandainya maksud para ulama “mengajarkan hukum-hukum” adalah haqiqi, maka sugguh mereka membatasi kepada hadirin yang jahil, dan tidak sunat bila semua hadirin telah mengetahuinya, tetapi dikala tetap disunatkan terhadap khatib ”mengajarkan hukum-hukum tersebut “ biarpun semua hadirin yang hadir sudah mengerti maka jelaslah tujuannya adalah bukan mengajarkan secara haqiqi.Dan mengajarkan hukum-hukum tersebut bukan pula semata-mata untuk diamalkan, karena para ulama berpendapat mengeluarkan zakat fitrah sebelum keluar kepada sembahyang, begitu juga qurban, lebih baik dilaksanakan sesudah sembahyang dan khutbah sedangkan kebiasaan yang dijelaskan dalam khutbah ialah binatang disembelih sejahtera dari segala aib yang dapat mengurangkan harga dan daging, dan segala yang disunatkan seperti binatang yang gemuk dan lain-lain, jika seandainya tujuan mengajarkannya untuk semata-mata diamalkan maka sugguh diperintahkan berkhutbah sebelum menunaikkan zakat fitrah yaitu pada malam hari raya, demikian pula diperintahkan membeli qurban pada hari raya idul adha, tetapi yang di perintahkan adalah sebaliknya.

. disamping itu mengajarkan hukum-hukum tersebut dalam khutbah adalah sunat sedangkan bahasa arab dalam khutbah merupakan syarat maka bila bertentangan antara sunat syarat didahulukan syarat dan ditinggalkan sunat seperti pada membaca quran bahasa arab merupakan syarat sedangkan merenungkan makna (tadabbur) adalah sunat, maka tidak boleh menterjemahkan al-quran untuk menghasilan tadabbur, maka khutbah sama seperti al-quran tidak boleh menterjemahkannya apalagi khutbah juga dinamakan quran seperti pada ayat:
واذا قرئ القران فاستمعوا له وانصتوا لعلكم ترحمون
Ibnu Hajar Haitamy dan Muhammad Ramli berpendapat ayat tersebut warid pada khutbah menurut kebanyakan pentafsir.


Kesimpulan
1.Bahasa arab disyaratkan pada segala rukun-rukun khutbah, dan seandainya rukun-rukun khutbah diterjemahkan dalam bahasa ajam ( selain bahasa arab) maka tidak sah khutbah.
2. mendatangkan tawabi’(ceramah dalam celah-celah khutbah) hukumnya adalah sunat,.maka disyaratkan pada tawabi’ bahasa Arab untuk menghasilkan pahala bukan untuk sahnya khutbah.

Adakah Hukum Menterjemahkan Diantara Rukun-Rukun Khutbah Haram dan bid’ah ?
Jawab:
Dari uraian diatas kita telah mengetahui bahwa tidak sah khutbah bila lama berselang Bahasa ajam diantara rukun-rukun khutbah, jadi hukum menyelangi bahasa ajam diantara rukun-rukun khutbah adalah haram bila tujuan tersebut untuk khutbah karena termasuk dalam membatalakan ibadat sengaja, serta bercampur dalam ibadat yang rusak.
Nashnya:
قال شيخنا لكن يمبغي ذلك (نية اول ليلة من رمضان صوم جميعه) ليحصل له صوم اليوم الذي نسي النية فيه عند مالك تسن له اول يوم الذي نسيها فيه ليحصل له صومه عند ابي حنيفة وواضح ان محله ان قلد والا كان متلبسا بعبادة فاسدة فى اعتقاده .اى وهو حرم .ا.ه .اعانة الطالبين.
Pendapat yang serupa dikemukakan oleh syeikh Abdullah bin Hajazy yang dikenal syarqawy dalam kitabnya hasyiah ‘ala Syarhi at-thahrir yaitu :
فمع كون الإمساك واجبا على هذا الناسى يحرم عليه نية الصوم به ان لم يقلد القائل بالصحة ولم يحصل منه شيئ سوى النية.
Dalam al-mughni khatib Syarbaini mengatakan :
واذا صلي في الأوقات المنهى عنها عزر ولا تنعقدا اذا قلنا اتها كراهة تحريم وكذا علي كرهة التنزيه علي الأصح فان قيل يلزم من عدم الإنعقاد ان الكرهة للتحريم لإن الإقدام على العبادة التى لا تنعقد حرام اتفاقا لكونها تلاعبا, اجيب بانه لايلزم من القول بعدم الإنعقاد القول بان الكرهة للتحريم الخ .
Dari beberapa teks diatas terfaham bahwa mengerjakan ibadat yang sudah batal hukumnya haram.oleh sebab itu maka menterjemahkan yang berselang waktu yang lama diantara rukun-rukun khutbah hukumnya adalah haram bila terjemahan itu dikasatkan khutbah. dan jika tujuan terjemhan itu hanya semata-mata kalam maka hukumnya haram pula menurut Satu pendapat.
Ibarat syarah kabir
هل يحرم الكلام على الخطيب فيه طريقان اصحهما القطع بانه لايحرم اهـ.
Ibarat syarah muhazzab
وفى تحريم الكلام على الخاطب طريقا ن احدهما على القولين والثانى وهو الصحيح وبه قطع الجمهور يستحب ولا يحرم للأحاديث الصحيحة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم تكلم فى الخطبة. والأولي ان يجيب عن ذلك بان كلامه صلى الله عليه وسلم كان للحاجة اهـ .
Fatwa Imam As-Syafi’I dalam kitab al-umm.
ولا بأس ان يتكلم الرجل فى خطبة الجمعة وكل خطبة فيما يعنيه ويعني غيره بكلام الناس اهـ .
Dari beberapa teks diatas dapat disimpulkan bahwa berkalam dalam khutbah hukumnya dibolehkan jika hajat seperti orang buta yang hampir jatuh dalam sumur.akan tetapi terjemahan diantara rukun-rukun khutbah sekarang ini adalah bid’ah karena menentang ayat, hadits, kias dan perbuatan para ulama salaf dan khalaf, seandainya kita mengatakan terjemahan tersebut adalah hajat karena memberi pengajaran untuk para hadirin maka kenapa para ulama salaf dan khalaf tidak pernah menterjemahkan diantara rukun-rukun khutbah dalam wilayah-wilayah ajam padahal pada saat itu terjemahan sangat dibutuhkan untuk mengajarkan hukum-hukum karena islam belum berkembang, oleh sebab para ulama saalaf dan khalaf tidak pernah menterjemahkan diantara rukun-rukun khutbah maka menterjemahkan diantara rukun-rukun khutbah hukumnya adalah haram seperti alasan yang diberikan olehpara ulama “disyaratkan arabiah karena mengikuti ulama salaf dan khalaf.
Dan jika terjemahan tersebut berselang waktu yang lama maka tidak sah khutbah sebagimana yang diutarakan Ibnu kasem, Muhammad Ramli dan lain-lain.tentang jawaban dari pendapat ع ش yang mengutarakan boleh menterjemahkan walaupun berselang waktu yang lama maka telah ada jawabannya diatas.
Tentang terjemahan tersebut dianggap bid’ah maka penulis terlebih dahulu membuat pengertian bid’ah.
Boihaqi, Izzuddin Bin Abdussalam, Imam An-Nawawi dan At-tayyiby mengatakan : yang dikatakan bid’ah menurut Imam As-Syafi’I adalah .
المحدثات من الأمور ضربان ما احدث لما يخالف كتابا او سنة او اثارا او اجماعا هذا من البدعة الضلالة وما احدث فى الخير لا خلاف فيه لواحد من المذكورات فهي بدعة غير مذمومة.
Imam Al-Ghazali berfatwa :
انما المحذر ارتكاب بدعة تراغم سنة مأثورة
Artinya : bid’ah yang terlarang adalah bid’ah yang menentang hadits yang masyhur

Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bid’ah ialah suatu hal yang baru yang tidak yang menyalahi kitab, sunnah, pendapat sahabat, dan ijma’, oleh karena itu maka menterjemahkan khutbah yang tidak diselangi waktu yang lama hukumnya adalah haram dan bid’ah karena tidak menentang Al-quran, hadits, dan pendapat sahabat.
Ketahuilah sesungguh khutbah pada terminologi adalah perkataan yang dimulai dengan memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW dan disudahi dengan wasiat dan do’a, sedemikian Imam Khatib Syarbaini mengatakan dalam kitab Mugni pada bab nikah (jilid 3 hal 137).
Dan disyaratkan pula pada khutbah beberapa perkara yang lain, diantaranya adalah bahasa Arab. Sebutlah demikian bahasa Arab pada khutbah dengan kitab (ayat) dan sunnah (hadis) dan qias (analogi) dan jelaslah demikian bagi para musannif (pengarang) dari ibarat (uraian) ulama. Oleh karena demikian tidak sahlah khutbah dengan bahasa Ajam (ajnabi).
Adapun dalil kitab adalah firman Allah SWT :
Artinya:
Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesataa yang telah dikuasainya itu, dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (Q.S An-Nisa 115).

Maka jelaslah sesungguh jalan orang-orang mukmin dimasyrik dan magrib, dinegeri Arab dan negeri Ajam itu berkutbah dengan bahasa Arab. Sebagaimana yang ditunjuki oleh ilat ulama pada mensyaratkan bahasa Arab, karena mengikut ulama Salaf (para shahabat) dan Khalaf (para tabi’in).
Maksudnya karena selalu dilaksanakan pada masa ulama Salaf dan ulama Khalaf, maka tidak pernah dikhutbah oleh seorang pun dari kalangan mereka kecuali dengan bahasa Arab, dan seandainya dikhutbah oleh seseorang dari kalangan mereka bukan dengan bahasa Arab, niscaya sungguh berpindahlah demikian kepada kita, apakah itu perbuatan baik atau pun buruk. Karena masyurnya panda’i maka menghendakilah demikian.
Dan manakala Saidia Umar mengingatkan seorang sariyah (satuan militer) maksudnya pemimpinya yang telah diutuskan ke negeri Nahawandi(….). Lalu saidina umar mengatakan dalam khutbahnya “wahai sariyah Al-jibal” ketika itu manusia saling lihat melihat, maka demikian juga ternaqal kepada kita. Dan manakala terlambatlah datang jum’at seorang muhajirin(…….) maka Saidina Umar mengingkarkan demikian.
Kemudian Saidina Umar memanggil pria tersebut dalam khutbahnya lalu ia berkata أيه ساعة هذه (ini pukul berapa) maka itu juga berpindah kepada kita. Dan Sulaiman Bin Sardi pernah mengatakan dalam azannya, itu juga ternaqal kepada kita. Dan Ibnu Abbas memerintahkan kepada muazzin hendak bahwa berkata ia الصلاة فى الحال itu juga ternaqal kepada kita.
Dan manakala Abdurrahman Bin Ummul Hikam berkhutbah dalam keadaan duduk pada satu kali maka diingkarkan orang atas perbuatannya, demikian ternaqal kepada kita juga. Dan manakala Marwan Bin Hikam berkhutbah satu kali sebelum shalat hari raya, niscaya diingkarkan juga atas perbuatannya dan itu juga ternaqal kepada kita.
Dan manakala diseru oleh saidina Usman Bin Affan ketika banyaknya manusia pada hari jum’at, maka tidak ada seorang pun yang mengingkari demikian, maka dinaqalkan pula kepada kita. Dan manakala Saidina Umar mengumpulkan manusia kepada Ubai Bin Abi Ka’ab untuk mendirikan shalat terawih dua puluh rakaat, itu pun tak seorangpun yang mengingkari demikian, maka itu juga dinaqalkan kepada kita.
Dan kebanyakan hadis itu diriwayatkan dalam kitab Shahihaini (shahih bukhari dan shahih muslim) dan ketinggalan-ketinggalan hadis tersebut diriwayatkan dalam kitab-kitab yang lain. Dan seandainya kita sepakat untuk menghitung berapa banyak dari contoh-contoh yang dinaqalkan kepada kita, niscaya pasti tidak terjangkau dan tidak terbatas. Maka oleh karena itu tidak pernah didengarkan khutbah dengan bahasa yang selain dari bahasa Arab hingga zaman sekarang.
Adapun dalil yang berdasarka dari hadis, itu sabda Rasullullah SAW:]

صلوا كما رأيتمونى أصلى (رواه البخارى)
Sembahyanglah sebagaimana telah kamu lihat aku sembahyang. (H.R Imam Bukhari).

Dan selagi akan datanglah pembahasan ambilnya hadis dari Imam Nawawi dalam Syarah Muhazzab jilid….hal....
Dan adapun dalil yang berdasarkan dari Qias (anoalogi) adalah sesungguhnya khutbah itu adalah zikir mafrudhah (zikir wajib), sama juga seperti tasyahud dan takbiratur ihram. Sedemikian yang tercantum dalam kitab muhazzab pula jld…..hal…..
Dan Allah SWT telah mengibaratkan (mengeksperisikan) kata-kata khutbah itu dalam kitab Nya yang megah, satu kali Allah mengungkapkan dengan kata-kata Al-Qur’an, pada tempat sekira-kira Allah berfirman:

Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (Q.S Al-A’raf 204).

Syaikhuna Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syaikhuan Al-Ramli dan Imam-Imam yang lain berkomentar waridlah ayat ini pada masalah khutbah, ini adalah berdasarkan komentar kebanyakan ulama Mufassirin, bahkan mayoritas mereka (Tuhfah jilid 2 hal 429, dan nihayah jilid 2 hal 326).
Dan pada kali yang lain Allah SWT mengungkapkan kata-kat khutbah itu dengan kata-kata Az-Zikri, pada tempat sekira-kira Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.

Berkatalah Abu Su’ud dan juga lainnya makna ayat adalah :

امشوا واقصدوا الى الخطبة والصلاة
Pergilah dan bersukkanlah untuk khutbah dan sembahyang.

Dan berkatalah Imam Al-Razi yang dimaksudkan dengan kata-kata zikir dalam ayat itu adalah al-khutbah, sedemikian mayoritas ahli tafsir mengatakan. Rasulullah SAW mengeksperisikan kata-kata khutbah itu dalanm sabdanya dengan kata-kata zikir pula. Pada sekira-kira beliau berkata:

من اغتسل يوم الجمعة غسل الجنابة ثم راح فكانما قرب بدنة و من راح فى الساعة الثانية فكانما قرب بقرة ومن راح فى الساعة الثالثة فكانما قرب كبشا أقرن ومن راح فى الساعة الرابعة فكانما قرب دجاجة ومن راح فى الساعة الخامسة فكانما قرب بيضة فاذا خرج الامام حضرت الملئكة يسمعون الذكر (رواه الشيخان عن ابى هريرة )
Artinya:
Barang siapa yang mandi pada hari jum’at itu sama juga dengan mandi junub, kemudian dia pergi mandi jum’at, maka seolah-olahnya dia mendapat seekor unta. Dan barang siapa mendatangi jum’at pada waktu yang kedua, maka seolah-olahnya mendapat seekor lembu. Dan barang siapa yang mendatangi jum’at pada waktu yang ketiga maka, seolah-olahnya mendapat seekor kibas. Dan barang siapa yang mendatangi jum’at pada waktuyang keempat mak seolah-olahnya mendapat seekor ayam. Dan barang siapa yang mendatangi jum’at pada waktu yang kelima maka, seolah-olahnya mendapat sebuah telur. Maka apabila keluarlah imam niscaya maka datanglah para malaikat untuk mendengar zikir(khutbah)(Syaikhani dari Abi Hurairah).

Dan berkomentarlah Qulyubi dan lainnya makna zikir itu adalah khutbah (hasyiah mahally jld 1 hal 530). Oleh karena demikian, maka sebutlah keadaan khutbah itu zikir dengan ayat dan hadis. Adapun keadaannya khutbah itu mafrudhah, maka sudah jelas dan nyata, karena demikian sebutlah keadaan khutbah itu zikir yang difardhukan, sama juga seperti tasyhud dan takbiratur ihram.
Kemudian Imam Nawawi dan Syaikhuna Ibnu Hajar dan Syaikhuna Ramli telah memberi alasan faktor mesti (wajib) shalawat atas Nabi Muhammad SAW dalam khutbah, karena khutbah itu adalah suatu ibadat yang berhajat kepada zikrullah. Sama juga seperti azan dan shalah (syarah muhazzab jld…hal….,tuhfah jld 2 hal 484, dan nihayah jld 2 hal 312).
Sedangkan ibarat Mugni serta matannya adalah rukun dua khutbah ada lima, yang pertama adalah memuji kepada Allah karena itba’k (mengikut jejak Nabi) dan yang kedua bersalawat kepada Nabi SAW karena khutbah itu adalah satu ibadat yangberhajat kepada zikrullah maka berhajatlah kepada zikrurasulullah faktornya karena khutbah itu adalah ibadah (Mugni Mukhtaj jld 1 hal 388).
Dan Ibnu Katsir mengatakan dalam kitabnya tidak sahlah dua khutbah tersebut kecuali dengan bersalawat kepada Nabi SAW, alasannya karena khutbah itu adalah ibadah yang berhajat kepada zikrillah maka berhajatlah kepada zikrirasulillah (ibnu katsir jld 3 hal 514), maka dikatakan orang khutbah itu adalah ibadah yang berhajat kepada menyebut Allah dan Rasul Nya, sama juga seperti azan dan shalah.
Maka disyaratkan pada khutbah tersebut berbahasa Arab pula, ini berdasarkan qias yang lain. Dan dengan ini qias pula sempurnalah istidlal (menuntut dalil), maka nyatalah mesti berkhutbah dengan bahasa Arab, dengan kitab (ayat) dan sunnah (hadis) dan qias (analogi).
Adapun ibarat para Imam Mujtahid itu jelas kepada mengsyaratkan demikian pula. Maka Imam Nawawi mengungkapkan dalam kitabnya pada sebuah فرع (cabang), adakah disyaratkan khutbah dengan bahasa Arab? Maka pada pembahasan ini ada dua tariq (jalur). Menurut pendapat yang asah (kuat) dari salah satu dua tariq tersebut mensyaratkan demikian dan pendapat ini telah diqata’(disepakati) oleh manyoritas ulama, karena khutbah itu adalah zikir yang difardhukan, maka disyaratkan padanya berbahasa Arab, sama artinya seperti tasyahut dan takbiratur ihram. Setelah nabi bersabda dalam satu hadis yang diriwayat oleh imam bukhari صلوا كما رأيتمونى أصلى dan adalah Nabi SAW di kala itu yang berkhutbah dengan bahasa Arab.
Dan dari tariq yang kedua ada dua pendapat, yang kedua pendapat tersebut diceritakan oleh segerombolan ulama, salah seorang dari kalangan mereka adalah Imam Al-Mutawally, sedangkan menurut pendapat yang pertama dari dua pendapat tersebut disyaratkan demikian. Dan menurut pendapat yang kedua berbahasa arab itu disunatkan dan tidak di syaratkan,karena maksud dari khutbah tersebut adalah nasehat maka sampailah maksud dengan bahasa apa saja (majmu’k jld 4 hal 522).
Dan terdapat dalam kitab Raudhatut Talibin karangan Imam Nawawi, ada satu tulisannya yaitu adakah disyaratkan khutbah dengan bahasa Arab tiap-tiapnya? Maka pada ini masalah ada dua pendapat juga. Menurut pendapat shahih (kuat) disyaratkan (raudhatuttalibin jld 1 hal 190).
Dan terdapat juga didalam kitab Syarah Kabir yang diberi nama dengan Fathul Aziz karangan Imam Ar-Rafi’i serta matannya yaitu Al-Wajiz karanngan Imam Abu Hamid Al-Gazali, satu tulisannya dan adapun rukunnya khutbah itu ada lima, yang pertama memuji Allah dan mestilah dengen lafad الحمد. yang kedua bersalawat atas Nabi Muhammad SAW dan mestilah dengan lafad الصلاة. Yang ketiga adalah wasiyat, karena maksud dari wasiat adalah nasehat. Maka memadalah kata-kata أطيعوا الله yang keempat adalah do’a untuk orang mukmin dan sekurang-kurang nya do’a adalah رحمكم الله dan yang kelima adalah qiraah ayat al-qur’an, dan sekurang-kurangnya ayat adalah satu ayat.
Dan bagi anda ada peluang untuk membahas pada dua masalah, yaitu pada ungkapan Imam Rafi’i dan Imam Gazali, mestilah lafad الحمد dan lafad الصلاة. Masalah yang pertama adalah sesungguhnya pada menghukum menentukan dua lafad tersebut itu mengkehendaki tidak memadalah membaca keduanya dengan bahasa ajam (bukan bahasa arab).
Maka adakah itu sedemikian? Jawabannya sesungguhnya pada mensyaratkan keadaan tiap-tiap khutbah dengan bahasa Arab itu ada dua pendapar. Menurut pendapat yang kuat bahwa sungguh berbahasa arab disyaratkan karena mengikut Nabi, dan telah berpijak bagi demikian oleh manusia. Sedangkan menurut pendapat yang dhaef (muqabil ashah) tidak disyaratkan, karena dii’tibarkan makna. Dan pendapat yang dhaef tersebut serta pendapat yang kuat imam…….menyebutkannya dalam kitab Tatimmah (syarah kabir serta matan jld 4 hal 579).
Dan tersebut dalam Syarah Mahalli serta Minhaj disyaratkan keadaan tiap-tiap khutbah dengan bahasa Arab sebagaimana yang telah berpijaklah manusia baginya (mahally jld 1 hal 228). Maka Imam Nawawi dalam Raudhah jld 1 hal 190, Imam Rafi’i dalam Syarah Kabir jld….hal…dan Imam Mahally dalam Syarah Minhaj menyatakan disyaratkan berbahasa Arab pada tiap-tiap rukun khutbah dan tawabi’nya.
Maka apabila ada orang tanya, mengapa demikian ? padahal Syaikh Qalyubi mengembalikan dhamir pada kata-kata كلها Dalam ibarat mahalli jld 1 hal 322 kepada rukun-rukunnya, Jawabannya: Syaikh Qalyubi mengikut Syaikh Islam Al-Anshari dan akan datanglah juga jawaban pertanyaan tersebut, lebih-lebih lagi kemungkinan-kemungkinan tersebut tidak ada didalam ibarat (ungkapan) Syaikhani,baik dalam raudhah dan syarah kabir.
Maka ibarat mereka jelas mensyaratkan bahasa Arab pada sekalian rukun tiada syubhat (ragu) bagi sekalian musannif, dan juga para musannif memberi alasan bagi mensyaratkan bahasa Arab dalam khutbah karena mengikut ulama Salaf dan Khalaf.Dan alasa para musannif yang menyatakan memada mengetahui keadaan khutbah itu nasehat secara global apabila kaum tidak mengetahui khutbah dengan bahasa Arab itu jelas pada mensyaratkan bahahsa Arab pada khutbah dan tawabi’nya bukan pada rukun-rukun saja.
Maka jika ada orang tanya, bagaimana Imam Nawawi menuntut dalil dari pada hadis صلوا كما رأيتموني أصلي pada hal dalam hadis tersebut tidak disindirkan bagi khutbah, akan tetapi dalam hadis tersebut hanya sanya diperintahkan shalat. itu dapat kita jawab dengan satu jawaban, padahal kan sudah terurai dalam kitab usul, sesungguh memerintahkan dengan sesuatu itu adalah memerintahkan dengan apa saja yang menyangkut dengan dengan sesuatu itu (lataiful isyarah hal 24).
Maka Imam Jalalul Mahally mengungkapkan dalam kitabnya, seseatu yang telah dikadarkan lalu tidak sempurnalah wajib kecuali dengan sesuatu tersebut, maka adalah sesuatu itu wajib pula. Faktornya karena wujub wajib, baikkah itu syarat maupun sebab. Ini Pendapat sekongkol dengan pendapat mayoritas ulama (jam’ul jawami’ jld 1 hal 192).
Oleh karena demikian, maka apabila dirintahkan dengan sesuatu itu diperintahkan juga dengan syarat dan wajibnya sesuatu (Itar jld 1 hal 251). Dan berdasarkan ini qaedah, dapat kita fahamkan dalam hadis tersebut, diperintahkan dengan shalah maka diperintahkan juga dengan khutbah, wudhuk, menutup aurat, menghadap kiblat dan lain-lain demikian yang tertawaquflah sah shalat atasnya, baikkah itu rukun atau syarat.Maka wajiblah membaca sekalian rukun khutbah dengan bahasa Arab sebagaiman yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW.
Dan seandainya kita terimakan, bahwa sungguh hadis hadis tersebut hanya sanya warid (tersurat) pada masalah shalah, dan tidak tersirat dalam hadis tersebut kepada khutbah. Maka dalil manakah yang ditunjuki kepada wajib khutbah….? Maka apabila ada orang yang menjawab, dalil yang ditunjuki kepada wajib khutbah bahasa arab adalah mengikut ulama Salaf dan Khalaf.
Maka kita tanya lagi untuk tertolak debatan tadi, adakah mereka berkhutbah pada rukun-rukun khutbah dan tawabi’nya dengan bahasa Arab hingga kenegeri ajam…? Padahal kan sudah nyata dalam kitab Haliyatuttardi yaitu Syarah Jalibatul Arbi(nadham jaliyatul karbi) dan kitab tersebut sebahagian dari kitab-kitab tarihk(sejarah, biografi) bahwasanya islam masuk kenegeri Kiralah ( ) pada masa kerajaan Usman Bin Affan dan sesungguhnya Usman mengutus satuan tentara dibawah pemerintahan Mugirah Bin Sya’ab dan sampailah mereka kenegeri Kalikut ( ).
Dan adalah dinegeri itu seorang raja yang dikenal dengan Zamudun, dan manakala ia mendengar berita Nabi SAW dan mukjizat terbelah bulan, dan adalah raja serta penduduk negeri tersebut itu yang melihat mukjizat terbelah bulan, lalu raja meminta kepada mereka untuk menerangkan kejadian dan kapan terjadinya? Terus para satuan tentara memberi tau kejadian itu.
Maka manakala menyamai berita dengan kejadian yang mereka lihat niscaya islamlah raja serta penduduknya dan adalah kejadian islam raja dan penduduknya itu pada tahun 27 hijriah (….., masehi) sedemikian dalam syarah haliyah jld hal ).
Dan saya mendapat berita dari seorang yang siqah, sesungguh nya orang siqah itu ketika dia melewati mesjid dinegeri Kalyakut sedikit sebelum bangunan mesjid, ia melihat lembaran papan yang tergantung diatas mesjid dan tertulis pada papan itu bahwasanya mesjid ini didirikan pada tahun 22 hijriah ( , masehi). lalu ia berkata lagi ini benar-benar aku telah membacakannya dan tanggal pun tertulis dipapan tersebut ( …). kemudian dia mengkhabarkan lagi bahwa sunguh kubur itu terangkat dan terangkatlah juga dua cahaya disekeliling mesjid itu.
Maka dari cerita ini kita dapat memahami bahwasanya islam masuk kenegeri Kiralah sebelum demikian bangunan, karna jauh kemungkinan didirikan mesjid dalam satu negeri beriringan masuk islam kegeri tersebut. Dan begitu juga masuknya islam keseluruh penjuru negeri Ajam pada masa sahabat. Dan setelah menaklukkan kota-kota, maka islamlah kebanyakan para tentara dan kenbanyakan orang-orang negeri habsyi dan orang-orang negeri Rum (Roma) dan lain-lain mereka.
Lalu mereka menghadiri majlis jami’k (tempat-tempat keramaian) padahal adalah saat itu manyoritas mereka tidak mengerti bahasa Arab, sedangkan manyoritas para sahabat mereka mengerti bahasa Ajam, meskipun demikian tidak pernah berkhutbah oleh seorangpun diantara mereka dengan bahasa ajam kecuali dengan bahasa Arab sekalipun bukan khutbah jum’at, padahal motifasi pada saat itu semestinya diterjemahkan.
Motifnya adalah karena orang Ajam yang berada pada masa itu tidak mengerti bahasa Arab, faktornya karena baru tersebarnya islam dinegeri tersebut. Sementara penduduk negeri tersebut berhajat kepada belajar hukum-hukum syari’at. Maka nyatalah ada pendorong pada zaman itu dan tiadalah penghalang baik dari pada malas dan lainnya yang dimaklumkan dari pada pemalas-pemalas yang telah dibuktikan, niscaya nyatalah disyaratkan berbahasa Arab pada demikian khutbah pula.
Maka jika ada orang bertanya, padahal Syaikh Islam Zakaria Al-Anshari dan pengikutnya sudah menjelaskan, yang dimaksudkan dengan kata-kata( ) adalah rukun-rukunnya saja. Maka dapat kita pahamkan yang selain rukun tidak disyaratkan dengan bahasa Arab. Kita jawab tidak berguna sama sekali karena maksudnya Syaikh Islam, berbahasa pada selain rukun itu bukan syarat sah khutbah, ini memang demikian maka mendatangi rukun itu bukan syarat pula.
Lalu manakala adalah Syaikh Islam itu menentang dengan ibarat Imam Nawawi dan Imam Rafi’i dan Muhaqqaq, karena sesungguh mereka mensyaratkan mendatangi tawabi’k (yang diikuti) dan memperpanjangkan khutbah, karena berdasarkan satu qaedah (asas) menyebut lajim melajimi menyebut meqaiyat. Contohnya menyebut berdiri bagi seseorang melajimi menyebut seseorang, kebalikan menafikan qayit, maka apabila kita arahkan nafi itu kepada muqaiyad niscaya terbenarlah ternafi qayid dan muqaiyad sekaligus, dan boleh jadi ternafi qayid aja.
Sedemikian yang telah dijelaskan pada posisinya. Oleh karena demikian, seolah-olahnya mereka berkomentar disyaratkan berbahasa Arab pada tiap-tiap khutbah, maksudnya pada tiap-tiap khutbah dan kesudahnnya pula, dan jelaslah bahwasanya tidak ditasawurkan keadaan khutbah dengan bahasa Arab kecuali dikhutbahkan dengannya, maka lajimlah mereka mengatakan mesti mendatangi tawabi’k.
Oleh karena demikian maka Syaikh Islam Zakaria Al-Anshari menghendaki untuk menolak ini maksud dengan menyatakan maksud mereka. Lalu dia berkata yang dimaksudkan dengan kata-kata كلها adalah rukun-rukunnya saja sesungguhnya para Imam-Imam tersebut meskipun mengitlakkan, mesti berbahasa Arab pada sekaliannya, akan tetapi sesungguh maksud mereka disyaratkan berbahasa Arab pada rukun-rukun khutbah saja ketiadaan lainnya itu untuk sah khutbah.
Adapun disyaratkan berbahasa Arab bagi tawabi’k itu hanyasanya untuk dihitungkan dengannya bukan untuk sah khutbah. Maka kepada Allah SWT kita serahkan, Allah lah yang Maha sanggup menjelaskannya lagi menjawabnya.
Maka jelaslah maksud Syaikhani dan Muhaqqiq sesungguh bahasa Arab itu disyaratkana pada tiap-tiapnya, artinya pada tiap-tiap rukun dan tawabi’ , karena bahasa Arab itu adalah satu syarat untuk di pada tiap-tiap rukun khutbah, dan menghasilkan semangat memanjangkan khutbah dengan sesuatu yang didatangkan dari tawabi’ sehingga jikalau didatangkan tiap-tiap rukun khutbah dengan bahasa Arab, sedangkan kesudahannya dengan bahasa Ajam dan tidak panjanglah diselangi, niscaya sahlah khutbah.
Berdasarkan pendapat mayoritas ulama, akan tetapi tidak diketangkan sesuatu yang didatangkan dengan bahasa Ajam, ittifak ulama tanpa khilaf (selisih pendapat) diantara mereka pada maknanya, dan Ibnu Qasim juga mendukung pendapat mayoritas ulama tersebut dan Syaikhuna Ramli juga sekongkol dengan mereka.
Kemudian dalam kitab Syaikhuna Ali Syibran Almalasyi, terdapat satu tulisannya sesudah komentar matannya yang dimaksudkan dengan kata-kata adalah rukun rukun khutbah dari matan ini tetap kita pahami, seandainya di bacakan sesuatu diantara rukun-rukun dua al khutbah bukan dengan bahasa Arab, niscaya tidak mudharat.
Pendapat ini sekongkol dengan pendapat Syaikhhuna Ramli, tapi ada qaitnya mahal (kedudukan) tidak mudharat apabila tidak lama diselangi dengan bahasa yang ajnabi dan adapun kebalikannya, maksudnya lama diselangi, maka mudharat. Faktornya karena tidak muafakat (mengiringi) sama juga seperti diam yang lama diantara rukun-rukunnya.
Wajah persamaannya sesungguh selain bahasa Arab itu laga (sia-sia) karena mendatangi dengan bahasa Ajam serta sengguh berbahasa Arab itu tidak memada , maka jadilah insan itu sia-sia (hasyiah bujairimi jilid 1 hal 389, nihayah jld 2 hal 317 , syarqawi jld 2 hal 488). Maka berkomentar Syaikh Ali Syibran Al-Malasyi dan Syaikhuna Ramli pada masalah ini ada qaidnya ini menunjukkan sesungguh berbahasa Arab itu disyaratkan pula pada tawabi’ menurut pendapat Syaih Islam Zakaria Al-Anshari pula, alasannya karena untuk dihitungkan dengannya tiap-tiap.
Dan apabila didatangkan tawabi’ bukan dengan bahasa Arab niscaya adalah tawabi’ tersebut itu sia-sia juga menurut pendapat Syaih Islam dan apabila bukan sedemikian niscaya tidaklah hamal interpretasi kalam, komentar Syaih Islam kepada tidak lama diselangi itu satu pendapat, akan tetap adalah interpretasi kduanya itu terbina (berdasarkan) pada pendapat syaih islam juga, yaitu tidak mensyaratkan bahasa Arab pada sekalian rukun.
Maka manakala Syaih Ali Syibran Malasyi dan Syaikhuna Ramli memberi interpretasi komentar Imam kepada qaid tersebut niscaya dapat kita fahamkan begitulah yang dimakusd oleh Syaih Islam, maka sesutu yang didatangkan atau dibacakan bukan dengaan bahasa Arab itu sia-sia menurut pendapat mayoritas ulama.
Maka apabila menanyakan Syaikhuna Syibran Malasyi setelah mengambil ibarat Syaih Ahmad Ibnu Qasim Al-Ubadi menjelsakan, apabila didatangka tawabi’ dengan bahasa Ajam dicelah-celah rukun tidak mudharat secara mutlak, artinya apakah lama diselangi atau tidak. Buktinya dia berkomentar lagi setelah itu, yang isinya والقياس الغ tidak mudharat secara mutlak.
Lalu dia membedakan diantara diselangi dengan bahasa Ajam dan diantara diam, kalau pada diam itu i’rad (berpaling) dari khutbah secara menyeluruh, tapi kalau selain bahasa Arab tidak sedemikian karena pada bahasa Ajam ada nasehat secara global, maka tidak keluarlah sama bahasa Ajam tersebut dari syaknu (kondisi) khutbah karena menurut kehendaki ilat di hetangkan sesuatu yang didatangkan dengan bahasa Ajam (hasyiah bujairimi jilid 1 hal 389, hasyiah tuhfah jlid hal 489, nihayah jilid hal ). Jawabannya adalah komentar Syaikhuna Ali Syibran Al-Malasyi itu bukan untk mengistidarak (mengecualikan) Imam Nawawi, Hafiz dan Syaikhuna Ramli dan Ibnu Qasim dan lain-lain nya ……..akan tetapi hanya menampakkan qias dan menjelaskan sesungguhnya hukum adalah keluar dari qias tersebut. Sedemikien komentar Syihabuddin Syalihati semoga Allah SWT melimpahkan rahmat diatasnya dalam kitab fatwanya yang disusun pada tahun 1328 hijriah (fatwa syaliati jilid hal ).
Lalu mereka menyatakan lagi wau yang ada pada ibarat Syibran Al-Malasyi adalah wau hal. Maka seolah-olah nya Syibaran Al-Malasyi setelah mengambila ibarat Syaihk Ahmat Qasim berkata حال كون القياسا الاجزاء الخ (pada hal menurut qias itu memada) dan mereka juga memberi alasan, karena ini qias tidak dii’tibarkan disisi mereka. Ini pembahasan sama dengan pembahasan yang dibahaskan oleh Syiah Abdurrahman Al-Auzai’ pada masalah budak kecil yang mengucap dua kalimat syahadat, sesungguhnya disunatkan bagi budak itu di perintahkan shalat da puasa dan diatafkan hamba tersebut kepada shalat dan puasa tanpa dipukul, faedahnya agar dia biasakan kebaikan setelah balig (dewasa) walaupun dia enggan munurut qias sedemikian.
Dan seandainya kita terimakan pendapat Syaih Ali Syibran Al-Malasyi selisih dengan pendapat Syaikhani (Imam Nawawi dan Imam Rafi’e) maka bagaimana percaya kepada komentarnya semoga Allah SWT melimpahkan rahmat kepadanya. Karena ada satu pedoman bagi kita yang telah ditetapkan pada tempatnya, maka terdapat dalam kitab fathul mu’in karangan Syaikh Zainuddin Al-Malibari pada bab qias (القضاء ) satu tulisannya yang berbentuk الخ اعلم .
Sesungguh yang mu’tamat (yang kuat) dalam mazhab (pendapat) untuk rukun dan fatwa adalah pendapat yang sekongkol syaikhani, kemudian pendapat yang dikuatkan oleh imam nawawi , kemudian penadpat yang dikuatkan oleh rafi’e, kemudian pendapat yang dikuatkan oleh mayoritas ulama, kemudian pendapat yang ditarjih oleh yang a’lam (lebih war’a).

Syaikhuna Ibnu Hajar menyatakan, kode etik ini telah disepakati oleh ulama mutaakhirin dan orang yang mewasiatkan kepada kita untuk berpegang pendapat Syaikhani adalah Masyaikhuna (para guru-guru kita) dan Syaikh Nuruddin Ali Al-Samhudi senantiasalah Masyaikhuna mewasiatkan kepada kita untuk mengifta (menagmbil hukum) dengan pendapat yang sekongkol Syaikhani dan bahwa kita paling dari pendapat yang selisih dengan pendapat keduanya dan Syaikhuna Ibnu Ziad juga menyatakan, mesti bagi kita pada kebiasaan untuk berpegang kepada pendapat yang ditarjih (kuat) oleh Syaikhani. Meskipun ada orang ambil dari manyoritas ulama kebalikannya (ianatuttalibin jilid 4 hal 233).
Dan apabila adalah hukum itu berselisih bagi pendapat Syaikhani dengan ini kondisi, maka bagaimana disangkakan bahwa sungguh Ali Syibran Al-Malasyi menyalahi keadaan, akan tetapi …………….dan jikalau ditakdirkan memang Syaihk Ali Syibran Al-Malasyi menyalahi mereka, maka bagaimana percaya kepada komentarnya tadi dalam kitab fathul mu’in? maka yang terlebih layak dengan adab kita jawab ? komentarnya tadi interpretasikan kepada satu pendapat nya yang tidak menyalahi dengan mereka.
Sebaimana yang telah kami nyatakan sesungguhnya Ali Syibran Al-Malasyi telah memberi alasan bagi mengiktibarkan bahasa Arab pada khutbah shalat dua har raya, yang sesungguhnya adalah bukan difardhu berkhutbah dengan bahasa Arab itu semata-mata nasehat, tetapi kebiasaan berkhutbah dengan bahasa Arab adalah mengikuti jejak Nabi, alasannya karena meninjau khutbah itu ibadat sebagaimana akan datanglah komentar ambilnya pendapat.
Dan Syaikh Syailati juga berkomentar dalam pertanyaannya seandainya kita terima pendapat yang dikeluakan oleh Ali Syibran Al-Malasyi itu melakukan dengan tanpa mudharat membaca tawabi’ denngan bahasa Ajam. Ini dapat kita jawab sesunggh khilaf apabila berkisar diantara sahnya berkhutbah dan tidak sahnya niscaya mestilah kita jauhkan pendapat ini dan meskipun Ali Syibran Al-Malasyi mengatakan tidak mudharat, tapi dia tidak menafiakan bahwa makruh (fatwa syaliati jilid hal ).
Maka jikalau ada orang yang bilang qias khutbah kepada zikir-zikir shalat adalah qias ma’al fariq (qias serta ada perbedaan), alasannya karena semua zikir-zikir shalat tertentu lafad-lafadnya, sedangkan khutbah tidak demikian …! Jawabannya adalah sebagaimana pada shalat ada lafad-lafadnya yang tertentu. Seperti Al-FATIHAH, tasyahud dan takbiratur ihram, dan ada juga tidak sedemikian seperti zikir-zikir ruku’ dan sujud dan do’a sesudah tasyhud akhir,maka sesungguh lafad-lafadnya tidak tertentu. Bahkan tertunai dengan shigat (lafad) apa saja yang didatangkan / dibacakan, akn tetapi mesti dengan bahasa arab, sedemikian juga pada khutbah…..ada lafad yang tertentu seperti Al-hamdu lillah dan As-Salah dan ada juga lafadnya yang tidak tertentu seperti wasiat dengan taqwa, buktinya Imam Nawawi mengungkapkan dalam kitabnya:

وأركانهما خمسة حمدالله تعالى والصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم ولفظهما متين والوصية بالتقوى ولايتعين لفظها على الصحيح (المنهاج 1 رقام 320 ).
Rukun-rukun dua khutbah ada lima pertama memuji kepada Allah kedua salawat kepada rasulillah saw dan tertentulah lafad keduanya dan ketiga berwasiat dengan taqwa dan tidak tertentulah lafadnya menurut pendapat kuat (minhaj jilid 1 hal 320).

Oleh karena demikian maka tidak adalah perbedaan diantara zikir khutbah dengan zikir shalat disegi ini, kemudian ada sebahagian manusia yang membedakan keduanya, katanya kalau khutbah itu dikhitabkan bagi kaum, sedangkan zikir adalah tidak sedemkian karena zikir-zikir shalt itu dikhitabkan bagi Allah SWT? Kita jawab perbedaan ini tidak diiktibarkan disisi kebanyakan ulama. Pada sekira-kira mereka berkomentar, sesungguhnya khutbah itu zikir mahfdudah, maka disyaratkan pada zikir mafdudah itu berbahasa Arab, sama juga seperti tasyahud dan takbiratur ihram. Sebagimana yang telah kami jelaskan pada awal permulaan pembahasan.
Maka para ulama tersebut tidak mengitibarkan perbedaan ini menjadi penghalang qias, bahkan perbedaan ini tidak kuat dari asal usulnya, alasannya karena pada shalat ada memuji kepada Allah SWT dan juga menyebut wahyu Nya, contohnya seperti Al-Fatihah dan ada juga berdo’a kepada baginda Rasulullah SAW, contohnya sepeti salawat kepadanya sesudah tasyahud.
Dan ada juga do’a untuk orang mukmin, seperti dalam tasyahud dan ada juga khitab bagi para hadirin, seperti salam dan kesemuaan ini ada pada khutbah pula, seperti memuji kepada Allah SWT dan ada pula do’a bagi Rasulullah SAW, seperti bersalawat kepadanya dan ada juga do’a bagi orang mukmin karena ini do’a rukun dua khutbah dan ada pula khitab bagi para hadirin, seperti wasiat. Maka oleh karena demikian perbedaan ini ditolakkan dari asal-usulnya.
Dan seandainya diterimakn pada qias khutbah kepada azan itu salawat, sejahtera dari perbedaan tadi, karena tersembunyi pada keadaan maksud azan adalah untuk memberi tau manusia bagi masuknya waktu shalat, sebagaimana yang dibuktika oleh hadis mimpi satu jamaah para sahabat r.a.
Dan sebahagian orang timbul kemusykilan (tidak jelas) pada keadaanya khutbah itu ibadah yang dikerjakan dengan membelakangi kiblat, lalu dia berkata syiar ibadahlah yang menghadap kiblat…? Padahal dia tidak melihat kepada firmannya Allah SWT:

              
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.(Al-Baqarah 115).

Maka jadilah menghadap kiblat itu amrun ta’abudy (kebahtian) dan Allah sungguh mensyariatkan bagi orang tawaf hendak bahwa ia jadikan ka’bah disamping kirinya, karena itu satu syarat untuk sah tawaf. Maka apabila orang tawaf menghadap kiblat ketika tawafnya bukan pada permula, karena menganggap bahwa tawaf itu adalah ibadah dan syiarnya menghadap kiblat. Maka sungguh sia-sialah sa’i nya dan rusak lah tawafnya, sedemikian juga disyaratkan pada shalat sunat dalam perantauan yang mubah (harus) untuk menghadap tempat tujuan dan ka’bah.
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Aimmah Tuddin (Imam-Imam Mujtahid) dan lajim dari ini dakwa kepada mengeluarkan shalat dalam perantauan dan tawaf, dari adanya itu ibadah. Maka tidak ragu lagi pada ini dakwah itu menunjukkan ,menjadi bukti kejahilamanya hukum-hukum agama hendak bagimu jauhi agar tidak tergores dalam jiwa orang banyak .
Dan orang lain juga menyatakan menanyakan….!sesungguh makna khutbah kan wa’dhu (nasehat),maka bagaimana hasil nasehat dengan bahasa Arab bagi orang yang tidak memahaminya, justru demikian sepantasnya diterjemahkan…? Jawabannya sudah kami jelaskan pada awal masalah (hal 1), sesungguhnya makna khutbah pada syara’k (istilahi)adalah…

perkataan yangdi melakukan dengan memuji Allah SWT bersalawat kepada Rasulullah SWT ,dan disudahikan dengen wasyiatdan do’a oleh karena demikian maka tidaklah maknanyakhutbah pada syara’ itu nasehat…..

Dan terdapat dalam kitab Hasyiah Tuhfah pada bab shalat dua hari raya artinya sesungguhnya tiada khutbah bagi para jama’ah wanita, kecuali bahwa di khutbahkan untuk wanita oleh seorang pria. Maka seandainya berdirilah salah seorang dari kalangan mereka dan ia memberi nasehat kepada mereka yang lain, menurut pendapat Syaikhuna tidak mengapa dan Syaihkhuna Al-Kurdi juga sekongkol pendapatnya yang diambil dari kitab Assani dengan pendapat Syaiklhuna (As-Syarwani jilid 3 hal 45).
Maka katanya As-Syarwaniفلو قامت واحدة serta katanya lagi لاخطبة لجماعة النساء itu adalah satu dalil, bukti yang menyatakan kepada bahwa sungguh khutbah dan wa’dhu itu tidak mutaraddhif (mempunyai persamaan arti) keduanya pada syara’ (terminologi). Maka apabila ternafilah salah satu yang mutaraddhif niscaya lazimlah ternafi yang lain, sebagaimana yang telah terurai pada tempatnya .
Adapun keadaan maknanya khutbah pada logat (etimologi) itu adalah wa’dhu, maka tidak menghendakilah kepada boleh menterjemahkannya khutbah……dan keadaan maknanya puasa pada etimologi adalah imsak (menahan diri) itu terdapat dalam firman Allah SWT :

• •             .
Maka Jika kamu melihat seseorang manusia, maka katakanlah :”sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan yang maha pemurah ,maka aku tidak akan bicara dengan manusia pun pada hari ini” (Q.S. Maryam 26).

Sedemikian juga makna haji pada logat itu Qasad, dan makna zakat adalah (bertambah-tambah) dan taharah (suci), dan makna shalat adalah do’a bikhairi (kebaikan), dan tidak ragulah orang yang berakal (berfikir) pada bahwa sungguh maksud ini ibadah itu tidak terbatas bagi makna tadi, oleh karena itu memadalah imsak (mencegah diri) ganti berpuasa, dan tidak memadalah kasat tanpa naik haji.
Dan tidak memadalah do’a ganti shalat, akan tetapi di syaratkan beberapa perkara yang lain untuk ibadah tersebut agar dihitungkan ibadah itu, maka sedemikian juga khutbah, tidak dihitungkan khutbah itu kecuali dengan beberapa ketentuannya khutbah, sebahagian dari ketentuannya khutbah adalah bahasa Arab, suci dari hadas dan menutup aurat dan berdiri bagi yang mampu dan keadaannya khutbah itu dua kali dan duduk diantara keduanya dan mengerjakannya sebelum shalat juma’t dalam waktu zduhur.
Sekitarnya tidak lama dan selangi diantara keduanya dan memperdengarkan khutbah bagi orang yang terangkat juma’t dengan mereka. Maka tidak menghendakilah keadaan maknanya khutbah pada logat itu wa’dhu dan meninggalkan ini ketentuan itu tertegah lebih-lebih lagi bahwa sungguh keadaan maknanya khutbah adalah wa’dhu tertakyin demikian (menentukan).
Dan kata-kata khutbah ini keda pula makna lain, dan terdapat dalam munjid:

خطب-خطبة وخطبا وخطابة : وعظ : قرأ الخطبة على الحاضرين (منجيد 186)

Dan juga terdapat dalam kitab qamus sebagi berikut:
خطب خاطب على المنبر خطبة بالفتح وخطبة بالضم وذلك الكلام خطبة أيضا أو هى اللكلام المنشور المسجع ونحوه ( القاموس)
Khatib berkhutbah diatas mimbar satu khutbah, cara bacanya harkat, baris kha fatah dan khutbatan, cara bacanya harkat kha dhammah perkataan sedemikian itu khutbah pula, atau yang dikatakan dengan khutbah adalah perkataan ....

Maka untuk mentaksiskan (menentukan) salah satu dua makna tersebut dengan bermaksud serta keadaan lafat itu musyarikat (bersama-sama) itu dikatakan ta’asof (membuat sewenang-wenang) .
Dan berkatalah sebahagian mereka ..! padahal kan para ulama telah menyebut kan sesungguhnya di sunat kan bagi khatib hendak bahwa diajarkan pada khutbah hari raya fitrah hukum-hukum zakat dan pada hari raya adha hukum-hukum udlhiyah (kurban). lalu dikatakan lagi maka bagaimana mungkin diajarkan hukum-hukum fitrah dan kurban dengan bahasa Arab bagi kaum yang tidak memahami bahasa Arab, supaya mereka mungkin mengamalkan dengan demikian belajar.
Dan sedemikian juga disunatkan keadaannya khutbah itu dapat difahamkan dan apabila adalah khutbah dengan bahasa Arab maka bagaimana orang ajam dapat memahamkan khutbah tersebut…? lalu kita menjawabnya sesungguhnya sebagaimana kedudukan posisi khutbah adalah untuk mengajar dan diperintahkan khatib untuk memberi faham (pengertian) sedemikian juga diperintahkan orang jahil untuk menuntut ilmu sebagimana Nabi SAW pernah bersabda :

طلب العلم فريضة على كل مسلم ( رواه ابن عبد البر عن انس)
Menuntut ilmu itu wajibbagi tiap-tiap orang muslim (HR .ibnu abdilbar dari anas)
Sedemikian yang terdapat dalam (kitab janji sangir jilid hal ).

Dan manakala adalah kebantahan syariat kita itu dengan bahasa Arab niscaya lajim (mesti) bagi manusia untuk belajar bahasa Arab sekedar terlepaslah hajad (keperluan), maka apabila para hadirin tidak memahami khutbah dengan bahasa Arab niscaya kembalilah demikian kesalahan kepada mereka bukan kepada khatib dan tidak boleh bagi khatib untuk menterjemahkannya.

شَعْرُ : لاَتَخْتَنْ قَدْمَيْكَ لََوْلَمْ تَدْخُلاَ # فِى النعْلِ بَلْ أَبْدِلْ شِرَاكًا أَطْوَلاً
Jangan engkau khitan kedua kaki mu apabila kamu tidak memasukkan keduanya dalam sandal , akan tetapi ganti khutbah……

Lebih-lebih lagi, bahwa sungguh maksud mereka dengan demikian ta’lim (mengajar) adalah untuk tadhmin (mengandungkan) khutbah akan demikian hukum-hukum, bukan hakikat mengajar, buktinya bahwa sungguh mereka itu ulama tidak mensyaratkan bahwa adalah para hadirin orang jahil demikian hukum. Maka seandainya sembahyanglah satu jama’ah dan adalah tiap-tiap mereka semua mengerti demikian hukum, ataupun adalah para makmum yang hadir lebih mengerti dari pada khatib niscaya disunatkan juga bagi khatib untuk mengajar dan tadhmin pula.
Maka tidaklah maksud mengajar itu semata-mata untuk beramal, karena sesugguh para ulama sudah menjelaskan untuk menunaikan zakat fitrah sebelum keluar untuk mengerjakan shalat hari raya, bahkan dimakruhkan mentak khirkan nya hingga shalat, kecuali karena ada kemaslahatan. Sedemikin juga udhiyah (kurban), maka yang lebih aula (baik) bahwa di sembelih binatang kurban setelah selesai shalat dan khutbah.
Dan pada kebiasaan para khatib menyatakan dalam khutbahnya syarat-syarat udhiyah(kurban) seperti keadaan bintang kurban it sejahtera dari pada aib (cacat) yang menyebabkan kepada kurang harganya dan dagingyna, ataupun khatib mengatakan sunat-sunatnya qurban, seperti keadaan binatang gemuk dan tidak mengkilah mengorbankan setelah selesai sekalian dua khutbah kecuali membelinya sebelum shalat.
Maka apabila adalah maksud dari khutbah itu mengajar yang haqiqi agar mereka mengetahui dengan kehendakinya belajar niscaya adalah yang sepatutnya dikhutbahkan sebelum shalat hari raya sekedar waktu yang sempat menunaikan zakat fitrah pada hari raya fitrah dan sempat menyembelih binatang qurban pada hari raya idul adha, pada hal sungguh disyaratkan disana mesti terakhirnya khutbah dari pada shalat sekiranya tidak lamalah diselangi diantara shalah dan khutbah, lebih-lebih lagi bahwa sungguh pembahasan itu terkhusus pada khutbah dua hari raya bukan sekalian khutbah.
Sedemikian juga disyarat kan keadaan khutbah mafhumah (dimengerti) artinya bahwa adalah khutbah itu apabila didengar oleh orang yang mampu berbahasa arab, niscaya adalah dia itu memahaminya, maksudnya sepatutunya bahwa adalah bahasa arab tersebut itu yang biasa pemakaian dan sejahtera dari garabah (keasingan) yang mukhallah (sunyi) dari pada balagah (kelancaran berbicara). Karena garabah itu menafikan fasahah yang melajimi bagi balagah. Sedemikian yang telah diuraikan pada maudhu’nya (kitab).
Dan apabila bukan demikian,maka bagaimana mungkin para ulama mensyaratkan berbahasa arab apabila adalah di kalangan mereka orang arab,serta wajib belajar bahasa arab bagi orang-orang yang tidak memahaminya.apakah anda tidak melihat jawaban qadhi husaini pada satu pertanyaan yang ditanyakan kepadanya, apa faedah khutbah dengan bahasa arab apabila adalah kaum tidak memahaminya.lalu qadhi menjawabnya faedahnya adalah العلم بالوعظ فى الجملة(mengetahui nasehat secara global).
Dan berkatalah syaikh bujairimi dalam kitab hasyiah jamal yaitu syarah dari syarah manhaj: seolah-olah ma’na العلم بالوعظ إلخ : sesungguhnya para hadirin mengetahui bahwasanya katib menasehati mereka, akan tetapi mereka tidak mengetahui isi nasehat.(as-syubari). Dan ada orang bilang,ini ma’na,datang juga pada khutbah dengan bahasa ajam,akan tetapi ini berlainan dengan perbuatan ulama salaf dan khalaf.(hasyiah bujairimi jilid 1 hal 389).
Dan tersebut dalam kitab basyrul karim:keadaan khutbah adalah nesti dengan bahasa arab, meskipun adalah para hadirin orang ajam, karena untuk itba’ ya’ni mengikuti perbuatan nabi saw.(basyrul karim jilid hal ).dan juga tersebut dalam kitab syarqawi serta syarah tahrir :keadaan khutbah adalah mesti dengan bahasa arab,walaupun adalah para hadirin orang ajam yang tidak memahaminya.(syarqawi serta syarah jilid 1 hal 267).
Dan syaikhuna ibnu hajar telah menyatakan dalam kitabnya:dan tidak disyaratkan suci para hadirin dan hadir mereka ditempat shalat dan memahami mereka apa yang telah mereka dengar(tuhfah jilid 2 hal 492). Dan terdapat dalam hasyiah qalyubi :maksud dari ibarat musannif (اسماع اربعين) memperdengar empat puluh orang hadirin meskipun mereka tidak mengerti ma’na-ma’na lafad khutbah tersebut(qallyubi jilid 1 hal 233).
Dan syaikhuna muhammad ramli menyatakan dalam kitab nihayah :pendapat imam zarkasyi yang menyatakan disyaratkan mengrerti khatib sekalian rukun-rukun khutbah ditolakkan karena alasannya menyalahi dengannya,yaitu bagaikan orang yang mengimami satu jama’ah sedangkan dia tidak mengerti ma’na al-fatihah(nihayah muhtaj jilid 2 hal 319).
Dan syaikh ali syibri amlasi menyatakan dalam hasyiahnya :maksut dari ibarat syaikhuna ramli من اشطراط معرفة الخطيب الخ adalah mengerti ma’na-ma’na khutbah, sebagaimna yang mengisy’ar(memberitahu)oleh komentarnya selanjutnya yaitu :bagaikan orang yang mengimami satu jama’ah sedangkan dia tidak mengerti ma’na al-fatihah.maka tidak menentanglah pada masalah yang telah lalu dari syaikh ahmad ibnu qasim bahwasanya mendatangkan pada mengi’tibarkan perbedaan diantara rukun-rukun dan lainnya rukun disana alasa lain(hasyiah ali syibri amlasi jilid 2 hal 319).
Dan berkatalah syaikhuuna ibnu hajar dalam kitabnya satu pendapat yang telah ditarjih:maka disyaratkan memperdengan dan mendengar bilfi’li( )walaupun mereka tidak memahaminya,dan tidak disyaratkan mengerti khatib akan ma’na rukun-rukun khutbah,khilaf bagi imam zarkasyi(fathul jawad jilid hal ).
Dan syaikhuna ahmad ramli berkomentar pula dalam kitabnya: dan tidak disyaratkan hadir para jama’ah ditempat shalah dan memahami mereka apa yang telah mereka dengar sebagaimana memadalah membaca fatihah dalam sembahyang bagi orang yang tidak mengetahui ma’nanya(nihayah muhtaj jilid 2 hal 323).
Dan terdapat dalam kitab nihayah matlab karangan imam haramaini pada bab shalat hari raya setelah satu masalah yang telah dia tarjih,beliyau mengatakan نعم الخ :akan tetapi, untuk tertunainya sunat di i’tibarkan memperdengar dan mendengar dan keadaan khutbah dalam bahasa arab(nihayah matlab jilid hal ).
Maka pada komentarnya imam haramaini “keadaan khutbah dalam bahasa arab”, itu coba anda lihat, walaupun adalah mereka bukan orang arab. ……aku berkomentar menurut dhahir itlak syaikh mahally sedemikian, dan syaihk ali sybri amlasi memberi alasan, sesungguhnya, tidaklah maksud dari khutbah semata-mata nasehat akan tetapi kebiasaan padanya adalah ittba’ (mengikut perbuatan nabi), karena meninjau keadaanya khutbah itu ibadah.
Maka ini ibarat tiap-tiapnya menyatakan, sesungguhnya tidaklah maksud dari pada khutbah semata-mata nasehat akan tetapi kebiasaan padanya adalah ittiba’ karena meninjau keadaannya dalah ibadah dan bahwa sungguh memahami kaum baginya khutbah bahkan khatib sendiri itu tidak disyaratkan bandingannya bagaikan seorang membaca al-fatihah dalam shalat sedangkan dia tidak memahami maknanya.
Dan seandainya diterimakan pendapat yang menyatakan sesungguhnya yang dimaksudkan dengan khutbah adalah mengajar yang hakiki agar mereka mengetaui dengan kehendaki ajaran, dan keadaan khutbah dapat difahami oleh sekslian para hadirin,maka kita jawab:bahwa sungguh mengajar,keadaan khutbah dapat difahami itu sunat.sedangkan berbahasa arab adalah syarat,maka apabila ta’arut (menentang) diantara sunat dan syarat niscaya ditarjihkan syarat,maka didahulukan syarat.dan ditinggalkan sunat sebagaimana yang nampak,dhahir …….
Ini masalah sama artinya dengan masalah baca qu’ran, para ulama menyatakan disunatkan tadabbur ma’na al-qur’an ketika membacanya.maka tidak dapat difahamkan dari sunat, yang sepatutnya adalah terjemah pada makam (kedudukan)membaca al-qur’an. karena berbahasa arab disyaratkan padanya, maka apabila menentanglah diantara berbahasa arab dan tadabbur, niscaya ditarjihkan syarat dan ditinggalkan sunat, maka jangan bacakan terjemah ganti dari pada membaca al-qur’an.
Dan telah kami nyatakan komentar dalam tuhfah dan nihayah pada halaman 2,sesungguhnya firman allah swt yang bunyinya:
        
Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat(al-a’raf 204).
Itu warid pada khutbah,maka ingat-ingatlah jangan kamu lalai.kumudian disini ada satu perkara yang semestinya di peliharakan yaitu sesungguhnya berkhutbah dengan bahasa ajam bagi orang yang mampu berbahasa arab tidak diperkirakan ijma’ulama,sebagaimana yang telah kami nyatakan,baikkah melakukan itu haram atau mubah atau bid’ah mungkar,insya allah akan datanglah penjelasannya.
Maka apabila kita terima pendapat yang mengatakan sesungguhnya yang dimaksutkan dengan mengajar dalam khutbah adalah mengajar yang hakiki dan keadaannya khutbah dapat dipahami maksudnya bahwa adalah para hadirin mendengar dapat memahaminya. Maka khatib memberi nasehat dengan bahasa ajam dengan rukun-rukun khutbah dan dia mengajari dalam nasehatnya perkara-perkara atau nasehat-nasehat yang telah disebutkan, maka adalah tertunai dengan nasehat itu sunat mengajari dalam khutbah dan keadaan khutbah dapat dipahami serta sungguh sesuatu yang didatangkan dengan bahasa ajam dan memahaminya kaum nasehat tersebut itu tidak dihitungkan untuk khutbah secara ittifak ulama. Maka tiadalah faedah pada ini nasehat kecuali sia-sia semata-mata ……..dan juga seoarang pensyai’r mengatakan dalam syai’rnya :

ازا ماالمرأ ساس منه يصدق كل اوهام أتاه ويصنع ما يسر الخصم منه ويخجل منه مجنون رأه

Apabila tiadalah seseorang memelihara pikirannya dari sesuatu niscaya dia akan membenarkan tiap-tiap sangkaan yang mendatanginya dan membuat malu orang gila yang melihatnya.
Dan ada juga dari sebahagian mereka menuntut dalil boleh terjemah khutbah pada sabda nabi saw:
صلوا كما رأيتمونى أصلى (راوه البخارى)
Shalatlah kamu sebagaimana aku shalat (bukhari).

Dan dia katakan lagi adalah nabi berkhutbah dengan bahasanya maka sepantasnya bahwa kita berkhutbah dengan bahasa kita juga. Kami menjawabnya menuntut dalil seperti ini menunjukkan mesti diterjemahkan khutbah pada hal tidak seorang pun yang berpendapat yang seperti demikian dan menunjukkan juga mesti diterjemahkan al-qur’an dengan shalah…..dan kita tidak tau sampai dimana perdawaan ini akan habis dan dalam celah manapun yang kamu masuk…? Karena sungguh dalil mereka ………dan sungguh kami dengar ada sebahagian manusia mengatakan mesti terjemah zikir-zikir shalat kecuali rukunnya. Artinya sungguh kita milik allah dan sungguh kepadanya kita kembali, maka tiap-tiap demikian bercabang kepada tuntutan dalil tadi yang didakwa oleh pemimpin mereka mesti terjemah khutbah, maka pengikut-pengikutnya mendakwa kan juga mesti terjemah zikir-zikir shalah……
إزا بال أستاذ لعمرى قائما فجز مايبول الطالبون مثاة
Demi umurku apabila guru kencing sambil berdiri, maka pasti muridnya kencing sambil berdiri
Dan mudah-mudahan sya’ir……kira-kira difahamkan dari pada hadis kepada diterjemahkan zikir-zikir shalah berdasarkan dilalah tuntutan dalil mereka, maka senantiasa aku tasdiq(benarkan) sabdanya rasul saw….
يأتو نكم من الأحاديث بمالم تسمعوا انتم ولا أباؤ كم
Mereka mendatangi kamu dari hadis-hadis yang tidak pernah kamu dengar dan tidak bapak-bapak mu.
Sedemikian juga sebagian mereka lain menuntut dalil dengan hadis yang ada didalam kitab mustafa karangan iman gazali dan juga dalam kitab yang lain ,yang isi sungguhnya para shabah,dalah mereka mendatangi,memasuki negeri ajam,maka mereka para sahabat menyampainya kepada penduduknya hukum-hukum syariah yang difaedahkan dengan bahasa ajam (mustafa jld..hal..). kemudian mereka berkomentar karena memahami dari ini riwayat,maka apabila terjemah adalah terjemah tertengah tertegah niscaya tidaklah para shahabat melakukan,meterjemahkanya hukum-hukum syara;lalu kami menjawab,sesungguh permasalahan,pembahasa kita pada pada terjemah khutbah yang di syari’at kan bukan pada mengajar hukum-hukum agama dan pada bukan nesehat,dan juga perbedaan diantaranya khutbah dan hukum agama ,sya;ra sangat jauh ,perbedaanya.sebagaima dikatakan orang dalam satu syairnya yang brbunyi……
سارت مشرقة وسار مغربا شتان بين مشرق ومغرب
datanglah perempuan ketimur dan lelaki kebarat yang jauhlah berbeda diaantaranya timur dan mangrib.

Maka nyatakan dengan uraiyan diatas ,sesungguh para shahabat,adalah mereka menyampaikan hukum-hukum agama dengan bahasa ajam dan jelas pula sesungguh mereka mengatahui ,memahami bahasa ajam dan pendorong untuk dia terjemah dan juga mereka lomba untuk mengajar.dan tidaklah malas dan lain-lainnya itu menjadi penghalang bagi mereka untuk mendengar.
MAKAdimana seorang shahabat pun tidak pernah khutbah kucuali dalam bahasa arab walaupun bukan khutbah jum’at niscaya ditahukan bahwa sungguh khuthbah dengan bahasa ajam tidak boleh,dan apabila kita katakan boleh niscaya sungguh berkhutbah lah mereka dengan bahasa ajam .dan sangat berhajatlah pada hari itu kepada bien terjemahkan khutbah.maka ini pada hakikatnya adalah menjadi ajjah(alasan,bukti)untuk mereka itu.
Maka perkataan ini dan juga yang sama seperti ini itubagi mereka yang menjadi jinakan sehingga mereka untuk ucapkan satu masalah yang tidak mereka fahamin ,sebagaimana katapen syai’r dalam syirnya:………
إزا بهت الانسان فى وجه خصمه يسوق كلاما فيه مصداق هذيان.
Heranlah seorah insan pada seorang wajah lawanya niscaya dia mengiring sepatah perkataan yang benar pada hal megigau.
Kemudian ketahuilah sesungguhnya nabi SAW adalah sefashih –sefashih orang arab sebagai mana dalam sabda nabi SAWyang berbunyi:….
ان افصح العرب بيدانى من قريش


dan tiadalah kepashiha nya nabi SAW diusahakan pada kalam yang balagah(tidak bisa munulis dan membaca) sebagaimana yang sudah jelas bagi orang yang mendengar nya nabi saw. Akan tetapi yang mendidiknya adalah sang khaliq (sang pencipta) sedemikian dalam satu riwayat yang berbunyi:

أنه قال ان أخى نوحا لما ازان السقم فمسح بيده على عرباض فخرج منه السمسم فقال أبو بكر ر.ض. ماالسقم وماالعرباض وماالسمسم فقال ص.ع. السقم الذبابه والعرباض الورد والسمسم الغشمش فقال ابو بكر ر.ض. ماالذبابة والورد والغشمشم فقال ص.ع. الخ
Sesungguhnya nabi saw berkata sesungguh saudaraku adalah nuh manakala, nuh menyakiti suatu penyakit maka dia meg hapus dengan tangannya …..maka keluarlah darinya biji-bijian lalu saidina abu bakar apa itu saqmu dan arbadl dan samsam…? Maka nabi menjawabnya saqmu adalah zubab (lalat) dan arbadl adalah warad (bunga mawar) sedangkan samsam adalah gasyamsyaiah(……) lalu abu bakar bertanya lagi apa itu zubab dan warad dan gasyamsyam..? maka nabi saw juga menjawabnya zubab adalah garnab (…..) dan warad adalah khaital (….) sedangkan gasyamsyam ialah dhuyun (…..) kemudian abu bakar berkata kepada nabi saw kamu dilahirkan disisi kami dan kamu besar ditangan kami juga maka yang dari mana yang rasul mempertahankan fashahah ini…? Nabi menjawab tuhan lah yang mendidikku maka tuhan memperbagus didikannya.
Lalu turunlah jibril dan jibril berkata ya…! Ya rasul sesungguhnya allah mengucapkan salam kepada mu dan allah juga mengatakan, memberitau kepada, bicaralah kepada manusia atas kesanggupan aqal mereka. Sedemikian juga rasul memahami segala bahasa-bahasa lain pula, sebagaimana yang diisyarahkan oleh firman tuhan:
وما أرسلنا من رسول الابلسان قومه ليبين لهم (ابراهيم)

Maka manakala adalah kaumnya nabi saw sekalian manusia niscaya adalah nabi saw itu yang sanggub sekalian bahasa-bahasa mereka sebagaiman yang diurai oleh imam ahmad shawi dan lain-lainnya (ihmad shawi jld…hal…).
Dan sungguh berkatalah syaikh ibrahim ad-dusuki sesungguh para ulama bercakap-cakaplah mereka dengan tiap-tiap bahasa. Sedemikian dalam tabaqah qubra (dusuku jld…hal…) dan apabila adalah ini perkara urusan ‘arifin(…..) maka apa sangkaan kamu dengan rasul rabbu ‘alamin.
Dan sungguh datang dalam hadis bukhari dan lainnya sesungguh nya nabi saw bercakap-cakap dengan bahasa paris, maka dapat kita ambil kesimpulan adalah nabi saw mengetahui sekalian bahasa, dan sedemikian para sahabt juga mengetahui sekalia bahasa sebagaimana yang disaksikan tablig (penyampain) mereka dalam negeri ajam dengan bahasa ajam dan serta demikian tidak perna seorang pun dari kalangan mereka berkhutbah kecuali dalam bahasa arab sebagaimana yang telah kami nyatakan. Sedemikian juga para tabi’in dan orang-orang sesudah mereka dan berkelanjutanlah urusan ini sampai kepada zaman kita sekarang. Maka barang siapa yang berpaling dari urusan yang sudah jelas ini niscaya adalah dia orang bid’ah yang benci sunah yang turun temurun, maka adalah bid’ah itu sesat lagi menyesatkan dan akan datanglah uraian ini dari imam muhammad bun idris as-shafi’I dan lain-lainnya.
Dan jika orang bertanya..? apabila adalah berbahasa arab menjadi syarat dalam khutbah, maka apabila tiadalah dikalangan mereka orang yang sanggup berbahasa arab, apakah boleh mereka membaca khutbah dengan bahasa ajam ataupun mereka menunggalkan khutbah dan shalat jum’at lalu mereka shalat zuhur..? jawabannya boleh mereka membacanya dengan bahasa ajam seperti takbiratur ihram dan tasyahud. Maka para ulam sungguh menyatakan denngan terang boleh menterjemah keduanya apabila mereka tidak sanggup berbahasa arab dan sempitlah waktu belajar, maka sedemikian juga hukum khutbah.
Dan tercantum dalam kitab tuhfah karanngan ibnu hajar al-haitami, setelah syaikhuna ibnu hajar menyatakan berbahasa arab disyaratkan dalam khutbah.
نعم ان الخ
Baiklah apabila tiadalah dikalangan mereka seorang yang sanggup berbahasa arab dan tiadalah dia belajrnya bahasa arab sebelum sempit waktu niscaya berkhutbah salah seorang diantara mereka dengan bahasanya dan apabila mungkinlah belajar nya niccaya waji bagi tiap-tiap mereka belajarnya. Maka apabila lalulah masa mungkin belajarsalah seorang dikalangan mereka dan dia tidak belajar sama sekali niscaya berdausalah mereka semua dan tiadalah bagi mereka jum’at akan tetapi wajib shalatlah mereka kepada shalat zuhur (tuhfah jld 2 hal 489).
Kemudian sepatutnya bahwa kita ketahuikan sungguh pada komentarnya syaikhuna ان لم يكن فيهم من يحسنها dan katanya lagi وان أمكن تعلمها الخ itu menjadi dalil yang kongkrit dan dalil yang jelas bagi batalnya perdawaan orang yang menyangka bahwa sungguh maksud dengan kata-kata العربى pada ungkapan ulama yang berbunyi ان كان فى القوم عربى itu adalah orang yang bahasa hariannya adalah bahasa arab bukan maksud orang yang mengerti berbahasa arab, karena kalau adalah maksud para ulama sebagaimana yang didakwakan niscaya tidak mungkinlah mereka mewajibkan belajar bahasa arab bagi penduduk negeri yang tidak mengerti bahasa arab.
Maka jika orang bertanya lagi setelah menerimakan jawaban yang sesungguh berbahasa arab disyaratkan pada khutbah baikkah pada rukunnya maupun pada tawabi’ nya. Maka apakah boleh didatangkan dengan dengan bahasa ajam diantara rukun-rukun meskipun tidak dihitungkan dengannya…? Kami menjawabnya secara terperinci, jawaban yang pertama bermaksud dengana bahasa ajam adalah dia berpakaina dengana pakaian yang pasid, alasannya adalah karena khutbah ibadah dan disyaratkan berbahasa arab baik padanya maupun pada tawabi’ nya.
Dan telah lalulah uraian ambilnya dalam syarah muhazzab dan lainnya, dan dapat kita ambil kesimpulan dimna ternafi syarat dihitungkan denga nya niscaya adalah ibadah menyangkut dengan ibadah fasid, padahal berpakaian dengan ibadah fasid adalah haram secara ittifak ulama.
Dan terdapat dalam kitab fathul mu’in setelah ungkapan syaihk zainuddin al-malibari yang bunyinya
قال شيخنا الخ

Berkomentarlah syaikhuna ibnu hajar al-haitami akan tetapi sepantasnyalah demikian artinya “niat pada awal permulaan ramadhan untuk berpuasa sepenuhnya ramadhan agar dia memperoleh puasa pada hari dia lupa niat, menurut pendapat imam malik bandingannya sebagaimana disunatkan berniat pada awal pagi hari lupa agar dia memperoleh puasa pada hari itu, menurut pendapat imam abi hanifah dan sudah jelas kondisi ini apabila dia taqlid (mengikuti) dan apabila tiadalh dia berpakaian dengan ibadah pasid pada I’tiqadnya (fathul mu’in jld 2 hal 221).
Dan syaihk abdullah syarkawi mengatakan dalam kitabnya yaitu syarkawi syarah tahrir dan sayit bakri bin ali dalam kitabnya yaitu ianatuttalibin وهو حرام artinya berpakaian dengan ibadah pasid haram(syarkawi jld 1 hal 422). Maka serta keadaan imsak (menahan diri) itu wajib bagi orang yang lupa niat, haram baginya niat berpuasa dengan imsak tersebut apabila dia tidak mengikut. Orang yang mengatakan, berpendapat sah niat pada hari lupa dan dia tidak pernah memperoleh sesuu apapun selain niat.
Dan tercantum dalam mugni muhtaj karangan khatib syarbaini
وإزا صلى فى الآوقات المضى الخ
Apabila salatlah seseorang pada waktu yang dilarangkan shalat pada waktu tersebut niscaya ditakzirkan dan tidak terangkatlah shalat apabila kita kita berpendapat sesungguhnya larangan adalah makruh tahrim (makruh yang hampir kepada haram) sedemikian juga makruh tanzih (makruh yang mesti dijauhkan) berdasarkan pada pendapat yang kuat, maka apabila orang mengatakan melajimi dari tidak terangkat oleh bahwa sungguh makruh adalah bagi tahrim, alasannya karena mendahulukan bagi ibadah yang tidak terangkat haram secara ittifak ulama karena keadaanya ibadah main-main. Dijawabkan sesungguhnya tidak melajimi, mesti …berpendapat bagi tidak terang kat untuk berpendapat bagi makruh tahrim (mugni muhtaj jld …hal…).
Maka nyatalah sesungguh berpakaian dengan ibadah yang pasid itu adalah haram menurut ittifak ulama. Dan jawaban yang kedua apabila dia tidak memaksudkan dengan bahasa ajam keadaannya sebahagian dari hukum khutbah akan tetapi hannya bicara semata-mata itu juga haram, apabila kita berpendapat haram berbicara dalam khutbah, ini adalah salah satu pendapat dari tariq khilaf pada menyatakan haram bagi khatib berbicara dalam khutbah.
Maka imam rafi’i mengatakan dalam kitabnya yang dinamai dengan syarah kabir.
وهل يحرم الكلام على الخطيب الخ
Dan adakah haram bagi khatib berbicara…? Maka pada masalah ini ada dua tariq, menurut pendapat dari tariq kata’ (satu jalur) tidak haram (syarah kabir jld …hal…).
Dan imam nawawi mengatakan dalam syarah muhazzab satu pendapat yang telah ditarjih:
وفى تحرم على الخطيب الخ
Pada mengatakan berbicara khatib ada dua tariq, salah satu tariq ada dua pendapat, dan tariq yang kedua adalah pendapat sahih, dan tariq yang kedua ini telah ditarjih oleh mayoritas ulama disunatkan dan tidak diharamkan karena banyak hadis-hadis sahih sesungguhnya rasul saw berbicara dalam khutbah dan yang terlebih baik bahwa dijawabkan untuk demikian sungguh bicara nabi saw itu karena hajat (syarah muhazzab jld…hal…).
Maka yang dimaksudkan pada ungkapan iman nawahi ……adalah disunatkan tinggal berbicara,sedemikianlah yang dibahas oleh ulama dan yang dimaksudkandengan ungkapanya iman nawawi …….adalah orang yang berpendapat haram .dan jika kita berpijak,berpendapat bagi tariq lain yaitu tarik kata’adalah unubah apabila ada disana itu maksud yang penting lagi tembus seperti memberi ingatorang lalai dari seumpama kalajengking dan lainnya.
Dan tertulis dalam kitab Al-lum sepatah kata iman as-syafirAV yang bumyimya …………………….
Artinya dan tidak mengapa bahwa berbicaralah seorang dalam khutbahjum’at dan tiap-tiap khutbah pada sesuatu yang telah maksud.dan orang lain memasukkan dengan kalam nas(percakapan manusia)(Alum jilid…hal…)
Maka iman syafi’ememasudkan pada katanya …………..adalah kalam,ungkapan yang ada maksud penting lagi tembus.sebagai mana yang ditunjuki oleh komentar iman nawahi dalam syara muhazzab,dan tulisan perkataanya sebagai berikut…………
Artinya berkomentarlah ashabuna (murid iman syafi’e)dan ini khilaf artinya khilaf haram berbicara pada ketika khutbah pada hak kaum dan iman adalah pada perkataan yang tidak menyangkut dengan maksud yang pentinglagi tembus,oleh karena demikian,maka apabila dia melihat seorang buta yang akan jatuh kesumur atau seekor kala jengking dan seumpamanya, yang mereayap kepada insan yang lalai maka memeberi peringatan ia atau untuk mengajak manusia kebaikan ataupun untuk melarangnya insan dari kemugkaran, maka ini tidak haram secara ittifak ulama, imam syafi’i yang menyatakan demikian dan sekongkollah ashabnya untuk menyatakannya, akan tetapi mereka berkometar disunatkan bahwa dipadai dengan isyarah apabila hasillah maksud dengannya (syarah muhazzab jld…hal…).
Maka ungkapannya imam nawawi نص عليه الشافع الخ itu menjadi saksi mata, bukti kebenaran penjelasan kami. Maka apabila tiada maksud seperti tadi dan tiada maksud keadaan nya dari khutbah akan tetapi keadaannya laga (sia-sia) semua, niscaya adalah demikian bid’ah mungkin lagi bersalahan bagi sunnah yang telah dikerjakan oleh ulama salaf dan ulama khalaf, sebagaimana yang telah kami jelaskan terlebih dahulu.
Dan …….berkata dalam al-um satu pendapat imam syafi’i
ولا احب ان يتكلم فيما لايعنيه الخ
Dan aku tidak mencintai bahwa berbicara sesuatu yang tidak penting baginya, dan tidak penting bagi manusia dan juga dengan perkataan yang jelek (al-um jld…hal…).
Dan terdapat dalam syarah muhazzab satu tulisan imam nawawi
قال الشافعى والآصحاب ويستحب الخ
Berkomentarlah imam syafi’i dan ashabnya dan disunatkan bahwa sepantasnya khatib tidak berbicara hingga selesai dua rukun al-khutbah (syarah muhazzab jld…hal…)lebih-lebih lagi adalah berbicara itu adalah laga semata-mata, maka memadalah bagi orang yang berakal terasa dalam.
Dan imam nawawi berkata dalam syarah muslim هو الكلام الملغى الخ (laga itu adala perkataan salah, kurang baik lagi ditolakkan. Syarah muslim jld…hal…). Dan apabila adalah makna lag sedemikian maka bagaiman orang berakal……..padahal allah pernah berfirman dalam satu ayat yang bunyinya
               
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.
Lebih-lebih lagi setelah azan salat jum’at dan allah swt sungguh berfirman :
                      
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.
Dan berdasarkan atas tiap-tiap takdir apabila lamalah diselangi dengan bahasa ajam batallah khutbah, sebagaimana yang dinyatakan oleh syaikhunaar-ramli dan ibnu qasim dan lain-lain keduanya. Dan adapun penyelidikan ali syibri amlasi itu sudah nyatalah jawabannya, maka jangan kamu lalai dan apabila tidak lama diselangi maka tidak batallah khutbah berdasarkan atas tiap-tiap takdir yang telah disebutkan.
Maka tertulis dalam kitab al-um satu kata imam syafi’i
قال الشافعى وكل ما اجرى ان الخ
Berkatalah imam syafii setiap perkataan yang aku maksud dengannya atau yang aku benci dengannya maka rusaklah khutbah dan salatnya.
Dan tertera dalam syarah muhazzab kata imam syafii
قال الشافعى والاصحاب الخ
Imam syafii dan ashabnya mengatakan dimana kita haramkan berbicara maka berbicara ia niscaya berdausa dan tidak batallah jum’at menurut ittifak ulama (syarah muhazzab jld…hal…).
Kemudian sesungguh syaikh shihabuddin saliati berkomentar dalam fatwanya yang disusun pada tahun 1356 hijriah (….masehi) artinya sesungguh membaca terjemah khutbah, baikkah serta bahasa arab maupun tidak itu bid’ah yang benci bagi sunnah yang turun temurun dari ulama salaf dan ulama khalaf, maka bid’ah itu dikatakan dengan bid’ah sai ah (buruk)yang wajiblah menjauhkannya dan berdasarkan sipelakunya maka sunguh berkatalah imam syafii masalah yang diada-adakan ada dua pembahagian:
1. sesuatu yang diada-adakan berbeda bagi yang telah ada dalam kitab (ayat) atau sunnah, asar (hadis) atau ijma’ (konsesus ulama) ini dinamakan dengan bid’ah yang sesat lagi menyesatkan.
2. sesuatu yang diadakan pada kebaikan tidak berbeda padanya bagi yang telah ada dalam ayat atau sunnah dan seterusnya, maka ini dikatakan dengan bid’ah yang tidak dicelakan dan ini sungguh diambil dari imam syafii oleh mayoritas ulama, seperti boyhaqi dan I’zuddin bin ‘abdi salam dan imam nawawi dan taybi muhammad dan lain-lain mereka. Dan berkatalah imam abu hamid al-gazali hanyasanya yang harus diwaspadai mengerjakan bid’ah yang benci bagi sunnah yang turun temurun (fatawa jld…hal…).

Dan terdapat dalam kitab zubdah tahqiqat. Setelah …..bagi wajib baca khutbah dengan bahasa arab……satu tulisannya maka apabila sebut nyatalah bahwa sungguh membaca khutbah dengan bahasa arab …..wajib, dimakruhkan membacanya bukan dengan bahasa arab atau membaca dengan bahasa arab serta menterjemehkannya dengan bahasa ajam akan sebagai makruh tahrim, maka mengifta hukum sesungguh membaca khutbah dengan bahasa ajam boleh tanpa makruh, baikkah makruh tanzih ataupun makruh tahrim karena menuntut dalil dengan pendapat yang ada dalam kitab fatwa sarajiyah jld…hal… yang bunyinya (dan apabila dikhutbahkan dengan bahasa faris boleh hingga akhir). Itu batal, alasannya karena yang dimaksud dengan jawaz (boleh) dalam fatwa sariyah adalah sah dan tidak menafikan makruh.
Dan berkomentarlah syahk muhammad amin bin ‘abidin dalam kitab raddul mukhtar jld…hal… yang bunyinya dan yang jelas sesungguhsah menurut……itu tidak menafikan makruh. Dan berkatalah …..dalam hsyiah syarah wiqayah yang dinamai dengan umdah riayah dan tidak disyaratkan keadaan khutbah dengan bahasa arab, maka apabila dikhutbahkan dengan bahasa paris atau lainnya boleh sedemikianlah komentar mereka والمراد الخ artinya dan yang dimaksudkan disini adalah boleh pada hak sah, maksudnya memada rukun tunai syarat dan sahlah shalat dengannya, bukan maksud boleh secara mutlak karena tidak ragu lagi sesungguh berkhutbah dengan bahasa ajam itu sebalik yang sunnah ……dari nabi saw dan para sahabatnya. Maka adalah demkian makruh (hasyiah umdah niayah jld ..hal…).
Maka berkekalan mengerjakan makruh tahrim dapat menjatuhkan keadilan dan sungguh diambilkan dalam kitab raddul mukhtar jld….hal…dari zainul ‘abidin bin najim (sesungguh tiap-tiap makruh tahrim adalah dausa kecil dan jatuhlah keadilan dengan sebab berkekalan dengannya). Maka kapan-kapan jatuhlah keadilan pada khatib yang berkekalan terjemah niscaya adalah pasik, maka makruhlah shalat berkekalan dibelakangnya (zubdah tahqiqah jld…hal…).
Maka katanya ……ولا يشترط كونها الخ dapat dipahamkan sesunguh khutbah dengan bahasa ajam adalah makruh tahrim meskipun pada pendapat tidak mensyaratkan bahasa arab pada khutbah akan tetapi sahlah khutbah berdasarkan pendapat tidak mensyaratkan bahasa arab dan tidak sah berdasarkan pendapat yang mensyaratkannya. Dan di……sesungguh tidak mensyaratkan berbahasa arab itu menunjukkan boleh, alasannya karena sesungguh salat dan sah pada khutbah adalah hukum whad’i (…) dan sedangkan ibahah (boleh) dan haram pada khutbah adalah hukum taklifi (…..) maka tidak dikehendaki oleh salah satunya bagi yang lain.
Adakah tidak kamu lihat…? Apabila salatlah seseorang insan dengan pakaian rampasan niscaya sahlah salatnya, karena tidaklah sebahagian dari syarat-syarat salat keadaan satir (tutupan) bukan rampasan, akan tetapi munutup aurat adalah wajib yang maksiatlah merusakkannya sebaliknya apabila salatlah ia dengan pakaian yang mutanajis (yang tersentuh najis) dan tidak mengetahuinya maka salatnya itu fasid (rusak) akan tetapi ia tidak berdausa dengan sebab demikian karena keadaannya ma’zural (dimaafkan) dan adapun apabila dia mengetahui bernajis pakaian maka haram karena bertalabus (berkekalan) dengan ibadah pasik.
Dan shihab syaliati semoga Allah melimpahkkan rahmat kepadanya berkomentar dalam kitab fatwanya yang diurai pada tahun 1356 hijrah setelah satu ungkapan,satu pendapat yang telah dia haskan:maka apabila kamu pahamkan ini niscaya kamu fahamkan juga sesungguh tidak mensyarat berbahasa arabpada selain rukun-rukun khutbah untuk memadan dan dihitung denganya itu tidak mengkerudaki daki,meunjukan boleh terjemah pada selain rukun-rukun (tawabi)karena berdasarkan uraiyan tadi,karena terjemah itu sebalik sunnah …….dan cara,metode yang……..maka memada sesuatu dan dihitungkan dengannya disatu segi itu tidak menujukan atas boleh mengerjakannya,dan tidak berdoasa sipelakunya disegala segi.
Apakah yang kamu lihat sesung nereka itu ulama tidak nensyarad pada wudhuk’keadaan air bukan rampasan,serta mereka menghitung,mingirakan wudhu yang hasil dari air merekan rampasan dan merekan memadangi shalah dengan wudhu tersebut………..gugurlah tuntutan dari padanya apabila shalat denganya padahal berwudhuk dengan air tarsebut tak boleh,maka fahamkanlah ……..!(fatawa…jld….hal)
Maka katanya……….dalam zubdah tah qiqat فتكره الصلاة الخ maksudnya,makruh shalat dibelakang ini fisik yang berkekelan menterjemahkan khutbah,dan syeh …..mengungkapkan dalam fat’ul mu’in dan matannya وكره اقتداء الخ dimakruhkan mengikut dengan orang fasik dan mubtadi’ seperti orang raidhi (….) walaupun tidak diperdapat seorang lain untuk imam selain ketuanya…..dan orang bilang tidak sahlah mengikut dengan ketuanya (fathul mui’in jld…hal 47).
Dalam hasyiah tuhfah syarwaini diambil dari bujairimi satu pendapat barmawi
ويحرم على اهل الخ
Dan haramlah atas ahli shalih dan ahli baik salat dibelakang orang fasik dan orang mubtadi’ dan lain-lain yang sama dengan keduanya….(syarwani jld…hal…).
Semoga allah memberi taufiq kepada kita untuk mengikut dengan imam-imam yang terpetunjuk dan ….kita bagi mengikut orang-orang fasik dan orang-orang mubtadi’ dan inilah akhir bats yang dineri kemudahan oleh allah atas hambanya yang fakir abi muhammad al-wailasuri semoga allah mengamppuninya dan semoga allah melimpahkan karunianya kepada sebaik-baik hambanya yaitu pengikut nabi muhammad saw dan keluarga dan para sahabatnya sekalian, maha sucilah allah ………dan kesejahteraan atas para rasulnya dan segala puji bagi allah yaitu tuhan sekalian alam.


The end

0 komentar:

 

© 2011 ZULKARNAEN AL-PASIRI zulkapasir